[34] caterpillar into a butterfly

590 84 32
                                    

"Apa yang sedang kau baca?" Wendy menatap Kino yang terdiam dan memfokuskan perhatiannya pada sebuah buku yang ia pegang

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Apa yang sedang kau baca?" Wendy menatap Kino yang terdiam dan memfokuskan perhatiannya pada sebuah buku yang ia pegang.

"Bukan urusanmu," Kino menjawab acuh.

Wendy menghela napas. Entah sifat siapa yang Kino dapatkan ketika ia lahir, ia tak mengingat kedua orang tuanya begitu dingin. Ia juga tak mengingat bibi ataupun paman mereka juga bersifat dingin. Wendy hanya bisa mencoba untuk berbasa-basi, walaupun ia tahu bahwa Kino sedang membaca sebuah literasi yang gemilang.

"Little Women, ya?" Wendy bergumam, namun dapat didengar oleh Kino. "Cukup menarik kau membaca itu."

"Membosankan," sahut Kino yang mendapatkan sebuah tatapan 'benarkah?' dari Wendy. "Benar-benar membosankan."

Wendy menatapnya aneh. "Lalu, mengapa kau masih membacanya sekarang jika kau menganggap karya tersebut membosankan?"

"Aku memulai," jawab Kino tanpa melihat kakak sulungnya itu. "Maka harus ku selesaikan."

"Kau pasti bercanda," Wendy bergumam di bawah napasnya sendiri sambil menggelengkan kepala.

"Tidak bisakah kau satu hari saja tak mengusikku?" Kino kemudian menutup buku tersebut dan meletakkannya di atas pangkuan.

"Uh?" Wendy menatap langit-langit, mencoba untuk menerawang. "Aku tak ingat mengusikmu kemarin."

Kino menatapnya dengan mata yang terpicing dan kemudian mengendus, dengan satu hentakan, ia kemudian menyambar buku dengan sampul timbul tersebut dan kembali mencari halaman yang tanpa sengaja ia tutup tanpa ditandai terlebih dahulu.

"Masih belum berdering sejak dua bulan yang lalu," Kino berkata disela-sela suara lembaran buku yang dibalik dengan cepat.

Wendy mengangkat salah satu alisnya, bingung mendengar perkataan Kino. Kino menggeleng bola matanya sendiri dan kembali menutup buku using tersebut—hanya kali ini, ia menggunakan jari telunjuk untuk memastikan bahwa halaman yang akan ia lanjut untuk baca tidak kembali hilang di antara lembaran-lembaran tebal buku tersebut.

"Telepon kuno tersebut," lelaki dengan tulang pipi tajam tersebut mendongakkan dagunya ke arah sebuah telepon emas dengan ukiran-ukiran rumit di ganggangnya, terletak tepat di sebelah sofa mewah tempat Wendy kini duduk. "Belum berdering sejak kepulanganmu minggu lalu. Kurasa takkan berdering juga hari ini."

Wendy menggelengkan kepalanya. "Aku tak mengharapkan panggilan masuk dari siapapun—"

"Mengapa kau memberi nomor telepon Rochestire padanya? Nomor telepon rumah pribadi pula," Kino menatapnya menuntut. "Tak bisakah kau sambungkan saja ke Eden?"

"Belum waktunya ia mengetahui nomor telepon Eden," Wendy bersedekap dalam duduknya.

"Oh, yang benar saja!" Kino mengerang dan menutup bukunya rapat kali ini, tidak peduli jika halaman yang ia tandai kembali menghilang. "Tak lama lagi ia akan menjadi kepala rumah tangga Eden, tentu saja ia berhak mengetahui nomor telepon rumahnya sendiri."

of Lace and Velvet || {btsvelvet/bangtanvelvet; Wendy x rap line}Where stories live. Discover now