Bagian IV : Enkidu

492 66 16
                                    

Update cover...  Jadi pengen update chapter... :D

Selamat membaca...!

Dengan kereta kayu yang ditarik dua ekor keledai, seorang pria tua mengantarku pergi ke hutan Arash. Aku tentu tidak tahu di mana letaknya. Kami melewati tanah tandus dengan beberapa perbukitan yang di hiasi awan putih bak kapas raksasa. Pemandangan yang tidak pernah kujumpai di negeriku yang notabenenya adalah negara beriklim tropis.

Barangkali karena tidak tahan dengan kecanggungan kami. Pria itu mulai bercerita dengan sesekali melempar pertanyaan padaku. Mulai dari dirinya yang dulu sempat berdagang ke berbagai negeri, menjumpai berbagai macam budaya, dan karakter-karakter manusia yang berbeda-beda.

"Kau gadis yang pemberani, Nak," uangkapnya setelah lama bercerita. "Tidak ada yang pernah berani menentang raja. Bahkan jika dia berbuat salah seburuk apa pun itu. Kau tentu tahu tentang tiraninya, tentang dia yang suka menindas rakyat dan memiliki kebiasaan meniduri setiap gadis yang baru menikah sebelum mereka bermalam dengan suaminya. Semua orang terkejut kau adalah gadis pertama yang berani melawannya."

Itu pernyataan yang sanggup membuatku kesulitan menelan ludah meski aku ingin sekali melakukanya. Miris. Wanita benar-benar tidak dihargai di masa lalu.

"Aku tahu kau bersedih atas kematian suamimu. Tapi kau tidak perlu khawatir berlebih. Aku tahu kau punya keberanian. Kau akan sanggup melewatinya."

Kami berangkat ketika matahari terbit di cakrawala timur dan sampai di hutan Arash ketika sinar ultravioletnya terasa menyengat kulitku. Gerbang hutan dengan puluhan pohon meruncing ke langit menyambut kedatanganku. Di kanan dan kirinya terapit perbukitan batu. Ketika aku menginjakkan kaki, angin hangat bertiup. Menerbangkan beberapa debu yang memaksaku untuk menutup mata.

"Nak Shamhat, Raja memberiku izin untuk menunggumu selama tiga hari, jika kau belum kembali juga, maka aku akan tetap pulang ke kota Uruk. Maafkan aku yang tidak bisa membantumu."

Aku tersenyum. Dia pria tua yang baik hati. "Terima kasih banyak, Tuan. Saya pergi dulu."

Untuk menjemput kematian.

~*O*~

Aku sudah berniat sejak awal, untuk menemukan Enkidu sebelum matahari terbenam. Aku tentu tidak ingin menjumpainya ketika malam tiba. Aku benci sesuatu yang berbau horor. Pria tua tadi mengatakan jika Enkidu memiliki wujud yang mengerikan. Tubuhnya besar dengan bentuk aneh, bahkan lebih buruk dari wujud binatang paling mengerikan sekalipun.

Memasuki hutan yang mulai gelap, aku berjalan secepat mungkin. Beruntung tidak banyak semak di sini karena sebagian besar sinar matahari tidak bisa mencapai tanah. Tidak ada halangan yang berarti untukku masuk semakin dalam. Sesekali aku berhenti, untuk meneguk air yang sempat menjadi perbekalanku. Hingga sampai ketika langit mulai menjingga. Aku masih belum menemukannya.

Perlahan, aku mulai ragu. Aku bertanya pada diriku apa yang sedang kulakukan. Sejak awal aku sudah tahu jika kematian akan menjemputku cepat atau lambat. Sementara aku baru mengingatnya, barangkali dengan mati di tubuh Shamhat juga berdampak pada kematianku di tubuhku yang asli. Membayangkannya saja sudah membuat kepalaku berdenyut hebat. Selangkah aku mundur, sembari mencengkram dahiku sendiri.

Tidak. Aku belum ingin mati. Aku harus kembali ke kota itu sekarang juga!

Aku hendak berlari memutar arah sebelum aku menyadari ada yang memperhatikanku sedari tadi. Jantungku berdegup kencang. Begitu aku melihatnya dengan jelas, aku langsung meyakini jika itu adalah sosok Enkidu. Seperti yang dikatakan oleh pria tua yang mengantarku, dia bertubuh besar sekali. Tidak berbentuk, hanya beberapa buah tanduk menyerupai tanduk rusa saja yang menciptakan siluet lebih jelas.

Shamhat [Completed]حيث تعيش القصص. اكتشف الآن