Bagian XXVII

147 33 0
                                    

Kendati demikian, mereka tetap selalu menjengukku setiap hari secara bergantian. Bahkan Syira masih menyempatkan diri untuk membuatkanku makan siang. Namun karena aku tidak pernah merespon mereka sedikit pun. Akhirnya aku menemukan diriku benar-benar sendirian. Meringkuk dalam kegelapan tanpa pernah berniat untuk beranjak keluar. Tidak masalah, karena tubuh ini abadi. Meski aku sering merasa demam, itu akan sembuh dengan segera.

Hingga aku tidak tahu lagi, berapa lama aku dalam kondisi seperti itu. Ketika aku berniat untuk beranjak dari tempat tidurku. Rasanya aku sudah seperti itu dalam berbulan-bulan.

Kain yang kugunakan untuk tidur dipenuhi kotoran yang jatuh dari atap, warna kainnya pun menguning. Semua barang-barangku dipenuhi oleh debu. Bahkan ketika aku menyibak tirai di jendela, debu-debu beterbangan seperti ketika aku baru saja membuka sebuah gudang tua yang tidak pernah dijamah.

Terik matahari menyilaukan mataku. Memberiku sapaan kasar, menanyaiku tentang bagaimana perasaanku setelah berhibernasi di musim panas?Mengabaikannya, kuputuskan untuk menerawang jauh ke langit yang biru.

Aku kehilangan semua ingatan tentang diriku yang sesungguhnya, tapi aku masih mengingat jika aku bukanlah Shamhat. Aku meminjam tubuhnya. Hanya meminjamnya, entah sampai kapan. Aku juga telah kehilangan tempat untukku kembali. Aku sendirian di dunia yang tidak kukenali.

Terakhir kali mereka menjengukku, kapan, ya? Aku memang berkata jujur jika aku bukanlah kakak ipar Syira. Tapi kurasa aku berlebihan, padahal dia sudah berbaik hati padaku. Dan meski pun aku bukanlah istrinya, tidak bisa kupungkiri jika kakak Syira telah menyelamatkan Shamhat. Meskipun aku tidak yakin akan mati jika di penggal waktu itu. Tapi dia telah berkorban untukku.

Kuhembuskan nafasku panjang.

Apa yang sebenarnya kupikirkan?Seseorang telah mati demi kesalamatanku. Dan satu orang lagi gugur dengan berharap aku segera menemukan jalan pulang. Kematian mereka tidak untuk keputusasaanku. Takdirku tidak semenyakitkan mereka. Kehidupanku adalah untuk mencari jalanku kembali. Pasti tidak mudah. Karena aku bahkan tidak memiliki ingatan sedikitpun tentangnya. Tapi tidak akan kukhianati harapan mereka.

Setidaknya, itulah yang kuyakini untuk sekarang.

Aku beranjak menuju tangga. Berhenti sejenak, aku berbalik, menyaksikan gambaran semu seorang pemuda bersurai hijau yang sering mendahuluiku bangun dan menaikkan letak selimutku yang tersingkap. Kupejamkan mataku sebentar, sebelum kuputuskan untuk turun dengan berhati-hati. Aku berhenti di tangga terbawah. Ruangan kotor dan bunga yang tumbuh terlalu lebat di meja yang berdebu. Aku tidak bisa menghentikan memori yang terus berputar dengan kejam di kepalaku. Di setiap sudut rumah ini aku terbayang selalu apa yang biasa dilakukannya. Sosok hijau lembutnya terus menerus membayangiku.

Aku sempat menangis dalam beberapa saat, lalu menepuk pipiku dengan keras untuk menyadarkan diriku sendiri tentang apa yang seharusnya kulakukan terlebih dahulu dari sekarang.

~*O*~

Hari ini aku menghabiskan waktuku dengan membersihkan rumah. Tidak tersisa bahan makanan yang dapat kupakai. Aku merutuki kebodohanku karena sekarang aku kelaparan.

Aku harus berbelanja untuk saat ini.

Lalu, aku juga tidak tahu apakah raja masih mengizinkanku bekerja setelah aku membolos sangat lama. Jika aku tidak diterima, aku tinggal meminta pekerjaan saja. Tapi aku akan pergi ke Ziggurat membawa oleh-oleh. Raja menyukai kue buatanku. Meski aku yakin kemungkinannya hanya kecil. Aku akan membujuknya menerimaku kembali. Lagi pula aku bukan lagi sampah, seperti yang dikatakannya dulu.

~*O*~

Namun,

"Ada yang aneh di kota ini. Apa yang terjadi selagi aku mengurung diri?"

Aku sudah menutupi tubuhku dengan jubah, karena kurasa aku akan menjadi pusat perhatian jika sampai ada yang mengenaliku. Namun begitu keluar dari rumah, ini bukan pemandangan yang biasa kulihat di Uruk.

Uruk lebih sepi dari biasanya. Bahkan nyaris terlihat seperti kota mati. Segerombolan pria banyak kutemukan di sudut-sudut kota. Mereka mabuk di siang hari dan menakuti orang-orang yang melewatinya. Tidak ingin berlama-lama, aku segera mencari toko penjual kebutuhan pokok. Aku pun tidak menyangka ketika aku sampai di tempat yang dulu biasa kukunjungi bersama Addaru, tempat itu sangat sepi. Hanya ada satu dua penjual dan mereka menawarkan harga yang terlampau tinggi.

Untunglah aku masih menyimpan uang tabungan. Tidak lucu jika aku tidak bisa membayarnya. Ketika aku hanya bisa mendapatkan sedikit bahan yang kubutuhkan, aku tidak terlalu mempermasalahkannya dan cepat-cepat pergi dari sana.

Namun di tengah jalan, aku melihat seorang gadis yang ditindas di sebuah lorong yang gelap. Karena tidak tahan melihatnya kuputuskan untuk menolong.

Ketika sebilah pisau dikibaskan ke arah gadis lusuh itu, aku melindunginya dengan lenganku. Sebuah luka yang dalam memanjang di tangan kiriku.

"Oioi, apa ini? Seorang gadis yang ingin menjadi pahlawan kesiangan?"

Kugertakkan gigiku menahan perih, alih-alih merespon kalimat dari pria gembul si Penindas.

"Sadarilah posisimu, Nona. Jangan menyerahkan diri ke kandang serigala. Atau kau memang berni--" ucapan pria itu terputus oleh keterkejutannya sendiri.

Kuhembuskan napasku pelan. Sensasi ini. Aku mengingatnya. Tubuhku perlahan-lahan mulai beregenerasi. Kutatap mata pria itu tajam dari balik tudung. Satu langkah diambilnya untuk mundur. Lantas ketika lukaku menutup sepenuhnya, dia melarikan diri terbirit-birit.

"Monster!"

Aku terkesiap. Tubuhku mendadak membatu mendengar cacian itu.

Apa aku, monster?

"Maaf," ucap sebuah suara. Aku menyadari jika gadis itu masih bersamaku. "Terima kasih bantuannya." Seperti pria itu, ia lantas melarikan diri ketakutan.

Kuyakinkan diriku, ini bukan saatnya untuk sakit hati. Aku harus segera pergi ke Ziggurat dan memastikan semuanya.

~~~TBC~~~

|•|
829 words
|•|

Publikasi [1 November 2020]

Salam hangat
Asa~

Shamhat [Completed]Where stories live. Discover now