Bagian XXVI : Hati yang Menggelap

180 34 6
                                    

Song credit :
Akane Sasu by Aimer

Lagu ini lagi?
Ya karena menurutku lagunya cukup menggambarkan perasaan Shamhat.

Selamat membaca....

~*O*~

Nyaris dua minggu berlalu, kesehatan Enkidu semakin menurun tiap harinya. Dia sering mengerang menahan sakit di jantungnya. Suhu tubuhnya tidak pernah stabil, naik dan turun. Nafsu makannya menghilang. Semua obat racikan tabib Ziggurat telah ia konsumsi, namun itu hanya bisa meredakan rasa sakitnya. Tabib pun sudah angkat tangan. Tidak bisa berbuat apa pun dengan penyakit yang dideritanya.

Aku pun tidak pernah mengira hari itu adalah terakhir kalinya aku dapat mengobrol banyak hal dengannya. Keceriaannya memudar. Tubuhnya kian kurus. Enkidu selalu menghabiskan hari-harinya dengan tidur. Karena jika tidak begitu, dia akan menderita dengan rasa sakitnya.

Hingga pada suatu hari, aku mendapati raja mengunjungi kamar Enkidu. Karena tidak ingin mengganggu, kuputuskan untuk menunggunya di depan pintu. Meski tidak sopan, aku tetap mendengarkan percakapan mereka di ruang yang sama sekali tidak kedap suara itu.

"Siapa yang akan mengerti dirimu setelah aku mati?"

Enkidu sedang terbangun. Aku tergoda untuk masuk karena selama ini aku bahkan tidak bisa mendengarkan suaranya. Tapi kalimatnya justru sekaligus membuatku tetap terpaku sendiri di depan pintu masuk. Suaranya terdengar sangat berat, karena dia, pasti menahan rasa sakitnya.

"Siapa lagi yang akan menemanimu?"

Tidak kudengar jawaban dari raja. Barangkali dia pun ikut merasakan rasa sakitnya hanya dengan menatap dan mendengarkan suara Enkidu.

"Gil, ketika aku berpikir bahwa kau akan hidup sendirian mulai dari sekarang, aku tidak bisa membayangkannya. Aku tidak akan lagi bisa membantumu."

"Akan kupanggilkan tabib!" Raja akhirnya menyahut. Suaranya terdengar kasar. Marah pada apa yang mungkin juga tidak ia ketahui.

"Kau berniat menghiburku?"

Pemuda itu balas mendecih. Dan aku bisa mendengar suara isakan tangis mengiringinya. "Seharusnya mereka menghukumku, bukan dirimu!" Ia frustasi.

"Aku baik-baik saja.... Bagimu, aku hanyalah salah satu dari hartamu. Jadi, setelah ini, harta yang melebihiku pasti akan muncul...."

Tak bisa menahan diri, aku masuk tanpa permisi. Tepat ketika aku bisa melihat mereka, tangan Enkidu meluncur jatuh dari genggaman raja. Kedua matanya terpejam damai. Seolah telah terbebas dari semua rasa sakitnya selama ini.

Raja Gilgamesh yang memeluknya tidak mempedulikan kehadiranku. Pandangan matanya tidak beralih. Menatap kosong pada Enkidu. Lantas kudapati seorang raja tirani yang selalu angkuh dan menyombongkan hartanya, menangis putus asa.

Nampan berisi makan siang untuk Enkidu yang kubawa setiap hari, lepas dari tanganku. Kubungkam mulutku tidak percaya. Air mataku tidak terbendung. Kuabaikan statusku dan lantas dengan lancang ikut menaiki ranjang Enkidu. Menghampiri tubuhnya.

Kusentuh dan kugoyang-goyangkan tangan kirinya menyuruhnya untuk membuka mata dan meyakinkanku jika dia masih berada di sampingku. Karena itu, adalah janjinya.

Namun, mengapa dia tidak kunjung bangun? Apakah dia tidak ingin bersamaku? Mungkinkah Enkidu membenciku? Padahal baru saja aku mendengar suaranya setelah sekian lama. Tapi, mengapa dia tidak menyapaku?

Shamhat [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang