Bagian XXII : Banteng Surgawi

173 40 0
                                    

Siang itu, gempa tak terduga mengguncangkan seluruh tanah Uruk. Kami semua panik dan mencoba menyelamatkan diri. Aku yang spontan masuk ke kolong meja malah di buat bingung dengan semua orang yang tampak pontang-panting tidak tahu harus apa. Benar juga. Belum ada mitigasi bencana di era ini.

Ketika aku kembali keluar untuk memberitahu orang-orang, gempa sudah berhenti. Aku merasa lega sekaligus was-was. Takut-takut jika akan ada gempa susulan. Namun, kabar yang lebih buruk dari gempa susulan menyusul. Seekor banteng super raksasa berdiri di depan gerbang Uruk. Semua orang kembali panik sekaligus penasaran. Terlebih aku. Tidak ada hewan seukuran itu di zamanku. Barangkali ukurannya menyamai fosil kerangka dinosaurus yang kutemui di museum.

"Kalahkan mereka, Gugalanna!"

Aku terkejut. Suara yang menggema di kejauhan itu, tidak salah lagi Dewi Ishtar.

Ketika binatang itu mulai berlari sembari menggeram, aku merapatkan tubuh ke salah satu pilar penyangga di lorong tanpa bisa berkutik. Tak lagi kuhiraukan jeritan ketakutan pelayan lain yang lari pontang-panting. Aku sendiri membatu tanpa bisa mengeluarkan suara. Puluhan rumah di sepanjang jalan yang dilalui binatang itu mulai berhancuran. Masih terpaut ratusan meter sebelum binatang itu mencapai Ziggurat. Namun kakinya yang besar terus mempersempit jarak.

Kuteguk salivaku berusaha menenangkan diri. Tapi, mustahil. Tubuhku tidak mau bergerak! Lari, Shamhat! Gerakkan kakimu! Kalimat itu terus kuulang dalam benakku. Sayangnya perintah itu pun tidak berguna. Tubuhku malah jatuh terduduk seakan pasrah pada keadaan.

Aku tidak bisa terluka. Seperti yang dikatakan Enkidu, dengan artian, aku abadi. Namun rasa sakit yang kuterima dari sebuah luka, tidak akan lenyap begitu saja. Pemuda itu bahkan sampai beropini, mungkin aku bisa koma berminggu-minggu jika sampai tubuhku rusak terlalu parah. Itu sangat menakutkan.

Aku mengerang dalam hati. Berdiri! Lari! Gerakkan kakimu! Larilah! Shamhat!

Saat banteng raksasa itu nyaris mencapai Ziggurat, aku berdengap. Nyaris lupa caranya bernafas dan lupa jika tubuhku memerlukan oksigen. Kupejamkan mataku rapat-rapat bersiap dengan kemungkinan terburuk.

Berimajinasi tentang guncangan dahsyat yang akan menjemputku di antara kehidupan dan kematian, suara gemerincing logam menggantikannya. Aku lekas membuka mata. Kudapati banteng itu mengerang marah tepat beberapa meter di depan Ziggurat. Napasnya yang tidak beraturan beberapakali mengeluarkan kepulan uap.

Rantai perak keemasan mengikatnya. Membuatnya tidak berkutik bahkan gagal untuk maju selangkah pun. Akhirnya aku dapat kembali bernapas. Kutegakkan tubuhku untuk berdiri dan mencari keberadaan Enkidu. Rantai itu miliknya. Lantas aku menemukannya berdiri di ujung tangga tanpa bergerak sedikitpun.

Tidak ingin kalah, sang Banteng bersikeras melepaskan diri. Di bawah, prajurit membentuk formasi untuk melemparkan tombak mereka silih berganti. Namun usaha mereka tidak berarti. Kulitnya terlalu keras. Ketika satu persatu rantai Enkidu mulai putus, tanah kembali bergetar.

Serangan pertahanan kembali dilancarkan. Kali ini Raja Gilgamesh turun tangan. Dengan mengaktifkan Gate of Babylon miliknya yang segera terbuka lebar, ratusan pedang lantas menghujani banteng tersebut. Binatang itu menggeram keras.

"Tarik dia mundur keluar dari dinding Uruk!" titahnya.

Melaksanakan perintah itu, tangan Enkidu terulur ke depan. Rantai yang lebih besar muncul dari arah belakang makhluk tersebut dan lantas mengikatnya kembali. Dengan satu gerakan tangan ke atas, Enkidu memerintahkan rantainya untuk menarik si Banteng supaya keluar dari dinding Uruk.

Ketika kami sedikit merasa aman dari ancaman binatang tersebut, kami tidak pernah mengira jika ini baru saja di mulai.

"Sebagai lambang dari cinta, kecantikan, seks, keinginan, kesuburan, perang, keadilan dan kekuatan politik. Aku, Dewi Ishtar, mengizinkanmu menunjukkan kekuatanmu yang sesungguhnya."

Shamhat [Completed]Where stories live. Discover now