Bagian XII : Gadis Kecil Bertudung

270 45 16
                                    

"Belanja? Tidak masalah sih, ada beberapa keperluan yang juga harus kubeli." Aku senang karena gadis itu menerima ajakanku. "Tapi," Addaru menambahkan, "kita selalu pulang sore, pasar sudah tutup, kan?"

Aku menghela napas lesu. Benar juga, ya? Aku malah melupakan hal sedasar itu. Pasar hanya buka sampai siang hari.

"Aku tidak masalah, karena aku selalu bangun pagi. Memangnya kau bisa bangun pagi?"

"Kau kira aku tukang tidur?!" protesku tidak terima.

"Oh, ya? Kau harus mentraktiku makan jika kau belum bangun ketika aku menjemputmu."

Menyebalkan. Salah satu sifat buruk Addaru, dia tidak memiliki sopan santun terhadap orang yang lebih tua.

Lalu hari berikutnya gadis itu benar-benar tiba di rumahku pagi-pagi sekali. Tepat ketika Enkidu berangkat ke Ziggurat. Untunglah aku sudah bangun. Aku mempersilakannya masuk dan menyajikan untuknya segelas teh hangat. Sambil bersiap-siap, Addaru sesekali mengajakku mengobrol tentang Enkidu. Tentang kemungkinan pemuda yang disangka gadis itu akan dinikahi Raja. Aku hanya meresponnya dengan tertawa sumbang. Memangnya ada reaksi yang lebih bagus selain itu kecuali menabah bumbu kebohongan?

Lagi, "Di dekat tembok utara ada sepasang pengantin baru, mempelai wanitanya kudengar cukup terkenal akan kecantikannya, tidak kalah dari seorang Shamhat. Anehnya mempelai wanita itu tidak dijemput prajurit untuk dibawa ke hadapan Raja. Sudah kuduga ini pasti berkaitan dengan kedatangan Enkidu. Tidakkah kau pernah bertanya tentang hubungan mereka, Shamhat?" Karena aku risih menahannya terlalu lama, akhirnya kukatakan saja jika Enkidu adalah seorang pemuda dan dia hanya berteman baik dengan Raja Gilgamesh. Jangan bertanya apa reaksinya, karena pasti mudah untuk ditebak.

Ketika matahari mulai menampakkan wujudnya dengan sempurna di cakrawala timur, kami berangkat ke pasar. Selama ini aku hanya menyaksikan keramaian di sepanjang jalan menuju gerbang utama, namun di balik itu masih ada keramaian lain di belakangnya. Berbeda dari yang di depan dengan mayoritas menawarkan kain, perhiasan, cinderamata dan benda oleh-oleh lainnya, di bagian belakang lebih ke barang-barang kebutuhan pokok.

Aku mendatangi beberapa kios sederhana yang menjual sayuran dan rempah-rempah. Ada juga buah-buahan segar yang sangat menggoda untuk dimakan di cuaca yang panas. Aku nyaris menghabiskan gaji dua hariku untuk berbelanja bahan masakan.

"Kau seperti tidak pernah berbelanja selama berbulan-bulan. Banyak sekali."

"Untuk persediaan."

"Terserah, sih. Ayo kembali, kita bisa terlambat bekerja."

~*O*~

Sedikit demi sedikit, aku mulai menikmati kehidupanku sebagai warga kota Uruk. Bangun pagi, berbelanja di pasar, menyiapkan sarapan dan perbekalan sebelum berangkat bekerja, dan pulang saat petang menjelang. Aku juga mulai mencoba berinteraksi dengan orang-orang dilingkungan sekitarku, meski awalnya, mereka jelas menjaga jarak. Pada saat seperti itu, bersikap polos seolah tidak mengerti apa pun sudah menjadi kebiasaanku.

Aku memiliki satu hari libur tiap tujuh hari sekali, jadi aku menganggapnya sebagai hari minggu. Saat hari libur, tidak banyak yang bisa kulakukan. Tentu saja. Tidak ada android apalagi internet di zaman ini. Jadi, untuk mengisi waktu, biasanya aku akan memasak berbagai macam masakan Uruk dalam rangka mengasah kemampuanku dan membagikan sebagiannya untuk anak-anak kecil yang sering bermain di samping rumah. Meski awalnya mereka juga takut-takut, namun lama kelamaan mereka terbiasa dan sangat senang ketika kupanggil untuk makan siang.

"Shamhat." Seseorang memanggilku.

Aku menoleh ke asal suara dan lantas kudapati seorang pemuda bersurai hijau panjang berdiri di bibir pintu. Satu tangannya masih terangkat, menyibak tirai yang menutupi pintu masuk.

Shamhat [Completed]Where stories live. Discover now