Bagian XVII

213 42 0
                                    

"Shamhat! Apa yang kau lakukan di sini sendirian! Kau bisa bertemu dengan Humbaba kapan pun dan di mana saja!"

Aku terkejut dengan bentakan tiba-tiba itu. Tapi aku lebih terkejut karena Enkidulah yang datang kemari.

"Enkidu? Kau juga, apa yang sedang kau lakukan?" tanyaku balik.

Pemuda itu menghela napas kesal. "Gil memberitahuku." Dan menghela napas lagi sebagai jeda kalimatnya. "Sudah kuduga, tidak seharusnya kau ikut dalam perjalanan ini."

Rasanya jadi ikut kesal. Apa-apaan dengannya itu. Karena kalah pendapat, dia jadi tidak seperti biasanya. "Memangnya kenapa? Kau bahkan bukan ayah atau pun kakakku. Aku bisa mempertanggung jawabkan keputusanku. Umurmu bahkan lebih muda dariku, kau bukan waliku!" Karena air yang kutampung sudah penuh, aku mulai berjalan menepi. "Dan jika kau sedang menganggur, lebih baik bantu aku mengangkut air."

Meski wajahnya terlihat seperti ingin memakanku hidup-hidup, Enkidu tetap bersedia membantuku membawanya. Ketika kami tiba, belasan tenda sudah berdiri dan gejolak api unggun mulai membesar.

"Enkidu, kau bisa meletakkan airnya di sebelah kereta itu, nanti aku akan menggunakannya untuk memasak. Lalu, Enkidu, di mana aku harus meletakkan handuk raja, ya?"

"Ikuti aku."

Heeh.... Sepertinya dia sungguhan marah. Apa tadi aku menyinggungnya, ya? Mengesampingkan masalah itu sebentar, kuputuskan untuk mengikutinya menuju kereta paling ujung. Mungkin ini yang khusus untuk perlengkapan raja.

"Masuklah, ada kotak kosong di ujung."

Menurut, aku naik ke atas kereta. Gelap. Penglihatanku cukup terganggu. "Enkidu, bisa tolong buka tirainya? Aku tidak bisa melihat."

Tidak ada suara. Semarah itukah dia padaku. Padahal aku tahu dia duduk di samping tirainya.

"Maaf soal yang tadi. Sekarang bisa menepi sedikit? Aku ingin membuka tirainya."

Karena dia tidak kunjung bereaksi, kuputuskan untuk mengabaikannya. Kuulurkan tanganku untuk menyibak tirai, melewati dirinya yang duduk membatu. Namun, tanpa kusangka tangannya malah mencengkram tanganku dengan kuat. Tidak mengizinkanku untuk membuka tirai bahkan untuk melepaskan diri.

"Enki...du?"

Detik berikutnya pemuda itu menjatuhkanku. Membuat sedikit kegaduhan dari benturan tabuhku dengan alas kereta.

Meski aku bisa melihat tubuh dan surai panjangnya secara sekilas, mustahil untukku memastikan ekspresinya. Dia juga mengunciku supaya tidak banyak bergerak. Tunggu--posisi ini--"Enkidu, apa yang kau lakukan? Aku harus segera memasak, lho. Ingat, kau juga belum makan malam, kan?"

"Shamhat, apa...kau membenciku?"

Aku terdiam beberapa saat. Aku berlebihan. Enkidu tetaplah Enkidu. Dia tidak akan melukaiku sepintar apapun dirinya sekarang.

"Untuk sekarang, bisa lepaskan aku dulu? Aku trauma dengan posisi ini," ungkapku jujur sembari tertawa sumbang.

Sekilas, mungkin dia menyadari perbuatannya. Enkidu melepaskanku dan membuat jarak sedikit jauh. Sesaat setelah aku berhasil bangkit untuk mengambil posisi duduk, aku mendekat dan menarik tubuhnya ke pelukanku.

"Maafkan aku. Kau memang bukan ayah, kakak, atau pun waliku. Tapi kau sangat berarti dalam hidupku. Maaf tidak mendengarkan permintaanmu, maaf karena telah membuatmu berfikir seperti itu. Maafkan aku, Enkidu."

"Kau tidak membenciku?"

"Apa aku punya alasan untuk melakukannya?"

Sebagai balasannya, pemuda zamrud itu memelukku lebih erat dan membenamkan wajahnya ketengkukku. Kali ini adalah giliranku. Kuusap surai hijaunya dengan lembut. Berusaha menenangkannya seperti ketika dia berusaha menenangkanku.

Lantas setelah beberapa waktu kami dalam posisi ini, aku tidak yakin dia akan melepasku lebih dulu. "Ngomong-ngomong aku harus segera membantu mereka untuk membuat makan malam. Bisa kita sudahi dulu?"

~*O*~

Perempuan mendapat perlakuan khusus. Kami tidak diberi tugas jaga malam. Jadi kami dapat tidur pulas sampai pagi setelah makan malam usai. Atau, mungkin hanya aku yang tidur nyenyak? Aku tahu beberapa kali sepupu Addaru itu bangun di tengah malam. Sementara Addaru sendiri mendapat kantung mata hitam setelah bangun.

Ketika sebagian besar dari kami telah selesai sarapan, Raja memberi arahan singkat. "Dari sini kita akan berjalan. Bawa senjata dan obat-obatan! Persiapkan segera! Kita berangkat sebentar lagi."

Di sebelahku Addaru mencibir. "Makan siangnya?"

Kusikut perutnya dengan sengaja. Syukurlah suaranya pelan, jadi hanya aku yang bisa mendengarnya. "Enkidu bilang kita akan menyelesaikannya sebelum siang, jadi jangan pikirkan makannya saja."

Gadis itu mengerang kesakitan sembari mengusap-usap perutnya. "Bercanda, tahu!"

Beberapa menit kemudian kami sudah berangkat. Diri sini kiti ikin birjilin. Kalimat itu terus kuulang belasan kali dalam hati. Mana mungkin aku berani meneriakkannya di depan banyak orang. Minta dihukum pancung? Aku tidak bosan mengulangnya karena rasa bosanku sudah menguap oleh rasa kesal. Aku tahu dia adalah raja, tapi merasakan secara langsung berjalan kaki karena kami rakyat, sementara dia dengan santainya menunggangi kuda, ternyata lebih mengesalkan dari yang kukira.

"Shamhat? Sedang memikirkan sesuatu? Wajah cantikmu membuatku mual saat melihatnya dengan ekspresi aneh seperti itu." Tanpa kusadari Addaru sudah menyejajarkan langkahnya denganku.

"Tidak, bukan apa-apa."

"Mungkinkah, kau kesal karena tidak diajak Enkidu naik di kuda yang sama?"

Segera saja kujitak kepalanya keras-keras bersamaan dengan menolehnya beberapa kepala di depan kami. "Sialan." ringisku. "Kuharap kau siap dengan apa yang akan terjadi setelah pulang nanti."

"Maaf."

"Ada apa, Shamhat?"

Aku berjengit. Karena terlalu fokus pada Addaru, aku sampai tidak menyadari tapak kuda yang ditunggangi Enkidu sudah mensejajari langkahku. Sementara aku kebingungan harus menjawab apa, Addaru ikut merapatkan tudungnya hingga menutupi sebagian wajah sembari menahan tawa.

"Sudah kubilang tadi untuk naik bersamaku, kan? Kau tidak pernah melatih fisikmu, kau pasti kelelahan."

"Itu benar, berbeda dengan kami yang sejak awal memang sudah terlatih untuk bertarung," sahut Addaru. Membuatku tambah kesal.

Ketarik napasku dalam-dalam sebelum menghembuskannya panjang. "Saya baik-baik saja. Maaf sudah mengganggu konsentrasi Anda. Sekarang Anda bisa kembali ke barisan depan tanpa mengkhawatirkan saya. Raja telah menunggu."

Barangkali Enkidu terkejut dengan sikap formalku barusan. Aku pun juga terkejut karena bisa mengatakannya. Pemuda itu tampak ragu untuk mempercepat langkah kudanya menyusul Raja, tapi dia tetap melakukannya.

"Apa yang barusan itu? Mencoba bersikap baik-baik saja? Padahal dalam hati menyesal setengah mati karena menolak tawaran itu dua kali."

"Addaru, tolong diam," geramku dengan nada terdingin yang pernah kubuat.

"Baik."

Sialan! Addaru benar. Sangat benar. Tapi, setiap aku melihat Enkidu bersama raja, aku merasakan sekat pemisah yang tipis namun mustahil untuk bisa kutembus. Aku ingin naik di kuda itu bersamanya. Berkeliling hutan Arash, tempat pertama kali kami bertemu. Tapi aku tidak bisa. Kami terpisah dinding tak kasat mata itu.

~~~TBC~~~

|•|
979 words
|•|

Publikasi [28 Juni 2020]

Salam hangat
Asa~

Shamhat [Completed]Where stories live. Discover now