Bagian XI

249 48 17
                                    

Hari pertama bekerja aku sangat kebingungan. Tidak ada sabun, terlebih lagi mesin cuci. Kami juga harus menuju sungai Eufrat terlebih dahulu, dengan menggunakan kereta yang ditarik keledai. Ada sekitar sembilan orang, termasuk aku yang bertugas mencuci pakaian pekerja kuil Ziggurat serta seragam yang dikenakan para prajurit.

"Hey, namamu, Shamhat, kan? Namaku Addaru."

Aku tersadar dari lamunanku ketika gadis itu menyebut nama Shamhat. Uluran tangannya menyambutku, mengajakku bersalaman. Barangkali Shamhat sudah terkenal semenjak menghantam kepala raja dengan guci. Aku ragu apakah harus membalas salam itu ataukah tidak. Pasalnya, sedari tadi aku juga tahu dia termasuk salah satu dari sekian orang dalam rombongan ini yang membicarakanku.

"Ah, maaf soal tadi. Aku tidak berniat membicarakanmu."

Memangnya aku percaya? Hanya Enkidu yang sungguh-sungguh kupercaya di zaman ini.

"Ah, iya, beritahu aku bagaimana caranya kau kabur dari raja malam itu," pintanya tanpa rasa bersalah. Aku cukup tersinggung dan memilih untuk mengacuhkannya. "Aku memang belum berminat menikah, sih. Tapi aku tidak mungkin mempertahankan status perawanku selamanya, kan?"

"Hentikan itu Addaru, memangnya kau bisa memikat Raja dengan tampang tomboymu? Taklukkan terlebih dahulu sepuluh hati pria dalam sekali pandang, baru Raja akan melirik kediamanmu." Itu suara temannya.

Konyol. Kuharap ini segera selesai.

Kami tiba di Sungai Eufrat mungkin sekitar jam sepuluh jika kulihat dari posisi mataharinya. Karena tidak ada sabun, kain-kain ini dicuci menggunakan tumbuhan yang barangkali sudah punah di zamanku. Aku terkesan karena baru pertama kali melihat tumbuhan yang dapat mengeluarkan busa seperti sabun. Mereka tumbuh lebat di tepian sungai.

"Shamhat, kain itu tidak akan bersih jika kau hanya menggunakannya sedikit-sedikit." Aku berhenti dari aktifitasku ketika mendapat teguran dari Addaru. Gadis itu menghampiriku dengan banyak daun di tangannya. "Ini untukmu. Kau harus menggunakannya lebih banyak."

"Ah, terima... kasih," ucapku ragu.

Aku tertegun. Mungkin aku terlalu cepat menilai sifat dari gaya bicara dan penampilannya. Addaru bukan gadis yang jahat. Malah barangkali kalimat pedasnya adalah salah satu bentuk kejujuran?

Karena Addaru mengambil tempat di sebelahku, sesekali dia mengajakku berbicara. Meski dia tidak lagi menyinggung tentang aku dan Raja, sebenarnya dia malah semakin membuatku kepayahan karena menanyai tentang pribadi Shamhat. Seperti makanan kesukaan bahkan tempat tinggal Shamhat sebelumnya.

"Bicara tentang itu, gadis yang tinggal bersamamu itu bukankah sebaiknya tidak terlalu dekat dengan Raja?"

"Eh?"

"Mungkinkah dia menyukai Raja Gilgamesh?!"

Hah?! Dia juga belum menyadari gender Enkidu yang sebenarnya. Meski sudah menduganya, aku tetap terkejut.

"Memang sih,  hanya sifat rajalah yang dibenci rakyat. Dilihat bagaimana pun juga, Raja tetaplah type idaman setiap gadis! Bahkan aku pernah mendengar desas-desus--"

"Addaru...! Kembalilah bekerja!"

Kami tersentak bersamaan dan menoleh pada wanita berusia kepala tiga di belakang Addaru.

"Maaf...," balas gadis itu sambil cengar-cengir tanpa dosa, seperti orang bodoh. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku melihatnya. Dia memang sangat cerewet.

Gadis bersurai panjang yang diikat satu ke belakang itu lantas mencondongkan tubuhnya padaku. Meyuruhku untuk ikut mencondongkan diri. "Benarkah gadis itu wujud asli Enkidu? Siapa sangka monster itu adalah seorang gadis yang cantiknya melebihimu."

Shamhat [Completed]Where stories live. Discover now