Bagian X

291 49 4
                                    

Sebelumnya, sebagai manusia yang sering berlaku salah, saya mohon maaf sebanyak harta di Gate of Babylon, atas semua perbuatan saya yang seceroboh Ishtar, selicik Kiritsugu, sekejam Goetia, ucapan semematikan racun Semiramis, yang sengaja maupun tidak, telah menyakiti hati. Karena isi hati saya tidak seputih rambut Emiya, selembut surai Enkidu, semanis senyum Arthur, setulus cinta Sita, dan seindah kesetiaan Gilgamesh. Bahkan jika dosa sebesar Mahapralaya, mohon maafnya meski hanya semungil tubuh Fou.

Taqobbalallohu minna wa minkum. Ja’alanaallah wa iyyaaka minal’aaidiina wal faidziin. Kullu ‘aammin wa antum bi khoirin.

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1441 H.

~*O*~

Dan begitulah. Siangnya seorang pemuda berseragam prajurit mendatangi rumahku. Dia mengantarkan beberapa tablet tanah liat bertuliskan huruf yang tidak bisa kubaca. Sial! Padahal kukira dapat berkomunikasi dengan penduduk tanpa hambatan, akan secara instan membuatku juga dapat memahami aksara mereka. Atau, mungkinkah juga, hanya segelintir orang dari keluarga bangsawan yang dapat membacanya?

Alhasil, tidak ada yang bisa kulakukan selain menunggu kepulangan Enkidu untuk bertanya padanya. Namun, dia tidak kunjung pulang. Hingga tanpa sadar aku tertidur di meja makan.

~*O*~

"Shamhat."

Aku terbangun hanya dengan satu kali panggilan.

"Tubuhmu, sudah tidak sakit lagi?"

"Enkidu," gumamku setengah sadar.

Ketika kutegakkan tubuhku kurasakan nyeri di bagian leher. Sepertinya aku sudah lama tertidur dengan posisi seperti ini. Ini tidak bagus.

"Siduri bilang, kau meminta catatan cara memasak makanan Uruk. Karena kau terlihat yakin bisa membacanya dia mengirimimu tanpa pikir panjang. Jadi, kau bisa membacanya?"

"Tidak. Tapi, kau bisa mengajariku, kan?"

Pemuda cantik itu tersenyum, yang lantas membuat pesonanya semakin mendebarkanku. Pipiku terasa habis tersengat sesuatu yang panas. "Tentu," balasnya. Detik berikutnya Enkidu menyadari sesuatu. "Shamhat, apa demammu masih belum sembuh? Wajahmu masih merah seperti kemarin."

Cih! "Aku sudah sembuh! Sekarang ajari aku!"

Tidak mungkin aku mengaku jika aku jatuh cinta padanya, dan lengah sedikit saja akan membuatku salah tingkah, kan? Bodohnya aku, malah menantangnya adu tatapan. Tentu saja tatapan polos penuh tanda tanya itu malah membuatku semakin salah tingkah.

"Ada apa?"

"Tidak! Ayo kita belajar di kamar saja!"

Mengiyakan ajakanku, Enkidu mengikutiku dari belakang setelah memadamkan api penerangan. Ngomong-ngomong tentang kamar, aku jadi teringat satu hal.

Tidak, tunggu, jangan dibahas dulu. Kami sudah terbiasa berbagi tempat tidur dan makanan ketika berada di hutan. Jadi seharusnya ini akan berjalan seperti biasa. Tapi kalau dipikirkan kembali, bukankah kami sudah mirip sepasang suami istri?! Memikirkannya saja sudah membuat kepalaku terasa panas. Aku pun sempat oleng karena kakiku yang gemetar gugup.

Tenanglah diriku! Kau payah sekali! Bukankah harga dirimu terlalu tinggi untuk pria yang lebih muda? Tapi, jika itu Enkidu....

"Mengapa berhenti?"

Aku terlonjat sangking terkejutnya. Sebelum aku jatuh berguling di anak tangga, pemuda itu menangkapku. Timingnya terlalu bagus! Meski dalam gelap karena penerangan lantai bawah telah padam, aku tentu tetap dapat merasakan napasnya yang menggelitik leherku. Celaka...! Kakiku tidak mau bangkit!

Shamhat [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang