Bagian XXVIII : Fana & Abadi

168 30 3
                                    

"Si--duri?" Aku tercengang.

Apa yang terjadi? Mengapa raja tidak berada di singgasananya? Mungkinkah ia tidak pernah kembali dari dunia bawah? Tidak, itu ekspetasi yang berlebihan.

Menyadariku yang berdiri membatu di dekat tangga, Siduri menghampiriku. Dipeluknya tubuhku tanpa kuduga, sembari terisak menangis. Aku yang cengeng bahkan nyaris ikut menangis meskipun tidak tahu apa masalahnya. Kuusap kepalanya yang bertudung tipis dengan pelan. Penampilan khasnya sedikit berubah dari terakhir kali aku melihatnya.

"Shamhat, maaf saya tidak bisa berbuat banyak untukmu. Tapi saya sangat senang karena akhirnya kau kembali," ucapnya bersungguh-sungguh.

"Maaf, membuatmu khawatir."

Setelah puas berpelukan aku ikut mengusap air matanya. Aku bisa melihatnya yang tersenyum manis untukku. Sejenak hatiku menghangat.

"Aku sudah melihat keadaan kota. Kenapa jadi kacau sekali?"

Sebelum menjawabku, Siduri berbalik membelakangiku. "Lakukan seperti yang saya jelaskan sebelumnya. Saya akan beristirahat sebentar," titahnya pada pria berseragam prajurit di depan sana. Setelah menunduk memberi salam hormat, pria itu lantas pergi untuk menunaikan perintah tersebut.

"Setelah membawa Enkidu ke dunia bawah. Raja memutuskan untuk meninggalkan Uruk. Beliau sempat bercerita pada saya tentang Utnapisytim. Lalu paginya saya tidak menemukan keberadaannya di mana pun. Saya tidak bisa menahannya untuk berkelana mencari keabadian."

"Tunggu--maksudmu raja meninggalkan kewajibannya?"

"Kami sudah menghentikannya."

"Tapi--"

"Beliau begitu ketakutan akan kematiannya sendiri."

Aku terdiam. Kutundukkan kepalaku dalam. Kami sama. Kepergian Enkidu menorehkan luka yang sulit untuk dihilangkan. Aku bahkan masih ingat bagaimana raja dengan berputus asa menangis keras di depan jasad temannya yang paling berharga.

Kami sama. Hanya saja jalan yang kami ambil bertolak belakang. Makhluk misterius abadi yang menginginkan kematian, dan manusia setengah dewa yang menginginkan keabadian. Ironis.

"Siduri, izinkan aku membantumu. Aku akan ikut melindungi negara yang ditinggalkannya. Kami memiliki keputusasaan yang sama karena kematian Enkidu. Tapi aku sudah bangkit. Jadi, akan kutunggu raja kembali dari keterpurukannya."

~*O*~

Namun, itu tidaklah mudah. Bahkan kami pun tidak bisa mengembalikan kestabilan perekonomian Uruk yang sudah kacau. Tingkat keamanan di kota juga sangat memprihatinkan. Kota-kota yang sebelumnya berada di bawah kekuasaan Uruk satu persatu mulai memerdekakan diri.

Yang bisa kami lakukan hanyalah mempertahankan apa yang masih ada sekarang.

"Nona Siduri, Ratu Arahsamna telah melahirkan seorang putra."

Itulah satu-satunya kabar yang menggembirakan untuk kota Uruk. Salah satu istri Raja Gilgamesh telah melahirkan penerusnya. Kami berjalan cepat dipandu oleh seorang pelayan dan menemukan kamar sang Ratu telah dikerumuni banyak wanita. Tentu saja mereka juga istri-istri Raja Gilgamesh.

Namun, kabar duka mengikuti. Nyawa Ratu tidak tertolong. Terlalu banyak pendarahan. Dua pelayan pribadinya menangis tersedu-sedu. Berpadu dengan suara tangis bayi mungil di samping tubuh tak bernyawa ibunya. Aku menatap mereka iba. Bayi itu, kehilangan orang paling berharga dalam hidupnya bahkan sebelum dia mengerti arti dari kata kehilangan itu sendiri.

Setelah mengusap air di kedua ujung matanya, Siduri melangkah lebih dekat. Diraihnya tubuh mungil kemerahan yang dibalut handuk tebal itu dan mencoba untuk menggendongnya. Setelah beberapa kali Siduri menimangnya, bayi itu berhenti menangis.

"Shamhat, saya tahu kau pintar. Saya sudah memutuskannya. Akan saya bujuk raja sekali lagi. Untuk sementara itu, maukah kau menjaga kota Uruk dan bayi itu? Karena dia adalah putra dari Yang Mulia Raja, berarti saya adalah bibinya." Siduri mengatakan itu ketika kami berjalan beriringan di lorong.

Aku terkejut, tentu saja. Aku pun tidak akan membiarkannya meninggalkan Ziggurat. Tidak sementara Uruk sangat membutuhkannya. Tapi dia bersikeras sambil berkata dengan tenangnya, "Saya hanya pergi sebentar." Tak bisa kubayangkan seberapa lama kata sebentar di zaman ini. Karena aku pernah menyesal ketika membayangkannya.

"Kau sungguh akan pergi? Kau bahkan tidak tahu keberadaan raja, kan?" tanyaku sekali lagi, mencoba menarik keluar keraguannya. Kami sekarang berada di kamar pribadi Siduri.

"Sebenarnya saya selalu mengawasinya."

Aku tidak mengerti, tentu saja. Terlebih ketika wanita itu naik ke atas jendela, bukannya berkemas untuk keberangkatannya yang serius itu.

"Rahasiakan ini, terlebih dari Raja, Shamhat. Beliau pasti sangat marah jika mengetahui saya pergi dari Ziggurat dengan cara seperti ini."

"Huh?"

Siduri melompat mundur sambil tersenyum lebar padaku. Buru-buru aku berlari ke jendela sembari menjeritkan namanya. Namun tanpa kuduga tubuhnya telah melayang di udara. Tidak terjatuh. "Aku bukan manusia," akunya.

"Tunggu--"

"Aku akan segera kembali."

Tanpa berkata-kata aku hanya bisa menatapnya yang terbang semakin menjauh.

~*O*~

Paginya saat kukatakan jika Siduri menemui raja, sudah kuduga mereka tidak akan mempercayaiku. Mereka menuduhku telah menculiknya. Lebih buruk lagi, membunuh dan membuang jasadnya entah kemana. Ketika mereka mengetahuiku yang tidak bisa terluka, tatapan mereka menjadi lebih buruk lagi. Aku nyaris saja diusir dari kota jika saja siang itu Siduri tidak kembali.

"Maafkan saya, saya tidak mengira para menteri itu akan memperlakukanmu seperti ini. Padahal mereka juga mengetahui bagaimana usahamu untuk membantuku."

Pakaianku robek di berbagai tempat hingga aku harus memakai salah satu pakaian milik Siduri. "Aku akan meminta bayaran yang tinggi jika raja telah kembali."

Siduri terkekeh mendengar jawabanku. "Saya juga akan meminta bayarannya."

"Bicara tentang itu, bagaimana denganmu? Apa kau berhasil membujuknya untuk kembali."

Dibuangnya napas berat sebelum akhirnya menjawab, "Maafkan saya, beliau benar-benar telah membulatkan tekadnya."

Kami terdiam dalam waktu yang cukup lama. Sembari memilah berkas-berkas tablet tanah liat yang harus digarap, aku memikirkan kalimat yang tepat untuk menjawabnya. "Tidak masalah. Kita tidak bisa memaksanya. Biarkan saja raja memutuskan sendiri kapan dia akan kembali."

~~~TBC~~~

|•|
841 words
|•|

Publikasi [1 November 2020]

Salam hangat
Asa~

Shamhat [Completed]Where stories live. Discover now