Bagian XVI

202 43 5
                                    

Hari ini adalah hari keberangkatan kami ke hutan Arash. Aku juga sudah bersiap-siap dengan perlengkapan yang perlu kubawa. Karena tanpa kuduga, Raja Gilgamesh memberiku izin. Semangatku pulih dalam sekejap. Meski Enkidu tampak khawatir dan sedikit lesu, apapun keputusan raja, yang kalah harus tetap terima.

Ada lima puluh sukarelawan yang terkumpul dengan tiga di antaranya adalah wanita. Termasuk aku. Kami berangkat menaiki kereta kayu yang ditarik keledai bersama dengan setumpuk bahan persediaan makanan. Kereta keledai adalah transportasi yang biasa digunakan di Uruk. Sementara Raja, Enkidu, dan beberapa pemuda berjalan di depan menunggangi kuda.

"Tapi, tidak kusangka, kau juga menjadi sukarelawan, Addaru."

Gadis itu membusungkan dadanya setelah sebelumnya melipat kedua tangan ke depan dada. "Akan kutunjukkan kemampuanku nanti setelah kita bertemu dengan Humbaba."

"Heeeeh," gumamku tidak tertarik.

"Bicara soal itu, bagaimana denganmu? Mungkinkah gadis pertama yang berani melawan raja bukanlah julukan belaka?"

"Hentikan pembicaraan tentang itu. Lagipula yang akan kulakukan nanti hanya memberi pertolongan pertama ketika ada yang terluka. Mungkin memasak makan malam juga."

"Heeeeeh, payah."

"Sialan!"

Addaru terkekeh pelan. Karena kami berangkat ketika siang hari, kami masih belum sampai saat matahari mulai menyentuh cakrawala barat.

"Sebelumnya, kau tentu tahu tentang dua warga yang telah menjadi korban. Salah satunya adalah sepupuku. Dan gadis yang tidak mau melepas tudungnya itu adalah adiknya. Padahal dia lebih muda dariku, tapi dia memaksakan diri untuk ikut."

Aku menyibak kain yang menutupi kereta dan mengintip kereta yang berada di depan kami. "Berarti, dia juga sepupumu?"

"Tentu saja. Dia juga terampil menggunakan panah, karena kakaknya adalah pemburu."

Balas dendam. Syira juga pernah berniat membunuhku untuk membalas dendam. Gadis itu, apa dia akan baik-baik saja, ya? Tidak ada akhir yang baik untuk sebuah pembalasan dendam.

~*O*~

Malam menjelang, dan kami pun baru beberapa menit memasuki hutan Arash. Rombongan berhenti di sebuah tanah yang cukup rata. Kami semua turun, serta mulai bekerja sama untuk mendirikan beberapa tenda dan membuat api unggun.

Setelah beberapa kali mengamati tempat ini, aku merasa mengenalinya. Sepertinya karena kami belum terlalu dalam masuk ke hutan. Ini adalah salah satu tempat yang biasa Enkidu kunjungi ketika masih tinggal di hutan dulu. Aku pun yakin kami berhenti di sini juga atas arahan darinya.

Aku mencoba mengingat-ingat kembali. Jika aku tidak salah, beberapa meter ke arah Utara aku bisa menemukan mata air itu.

Setelah aku mengambil satu guci kosong dari kereta, aku mencoba mencari Addaru. Gadis itu telah menghilang tepat setelah menginjakkan kaki ke hutan ini. Ya ampun, sebenarnya apa yang sedang dia lakukan sekarang?

Tidak ada pilihan lain, aku tidak mengenal satu pun orang-orang di sini. Disamping aku juga waspada terhadap mereka. Insiden di tembok Uruk masih membekas di ingatanku.

Dengan tanpa satu pun lentera yang kubawa, aku pergi ke arah Utara sendirian. Jika kunang-kunang bukan serangga musiman, kemungkinan aku akan menemukannya di sepanjang jalan nanti. Hutan ini sangat lembab terutama di malam hari. Tempat yang disukai serangga bercahaya itu.

Benar saja, puluhan--tidak--ratusan serangga bercahaya kuning kehijauan mulai beterbangan sesekali di depanku. Cahaya bulan juga mulai menyelinap melalui celah-celah rapatnya pohon cedar. Jalan yang kulalui juga mulus, karena terlalu mulus bisa jadi aku terpeleset lumut jika tidak berhati-hati.

Shamhat [Completed]Where stories live. Discover now