Bagian XIX : Aku Manusia

199 44 2
                                    

Ketika aku terbangun, aroma rerumputan liar menyambutku. Atap dedaunan pohon serta sinar rembulan sebagai lenteranya. Aku belum mati, ya? Ini masih di hutan Arash.

Di samping kiriku rasa hangat sedikit menyengat kulit. Tidak seimbang dengan sisi kananku. Aku menoleh pelan. Ada api unggun yang masih menyala. Di sekelilingnya tidak ada siapapun. Lalu baru kusadari ada satu lagi api unggun lebih besar yang letaknya berjauhan. Di sana terlihat puluhan pemuda yang sebelumnya telah terluka di pertarungan melawan Humbaba.

Mendadak kepalaku berdenyut. Benar, di pertarungan itu perutku tertusuk. Seharusnya dengan itu, aku mati. Tapi sekarang, aku masih di sini.

Setelah menunggu rasa sakitnya sedikit mereda, kuputuskan untuk bangkit. Namun, sebuah pedang teracung pada leherku, dari portal Gate of Babylon yang sudah beberapa kali kulihat. Membuatku membatu di tempat.

"Kepalamu akan terpenggal jika kau bergerak lebih dari itu."

Aku menoleh takut-takut ke asal suara di samping kiriku. Pemuda itu duduk menyilangkan kaki di atas batu dan bersandar di sebuah batang pohon. Tangannya terlipat di depan dada khas dengan watak sombongnya. Iris rubynya menatapku tajam mengintimidasi.

Merasa tidak nyaman, kukembalikan saja tubuhku ke posisi semula, lantas kupejamkan mataku. Aku tidak sedang bercanda. Aku sungguhan takut pada tatapan tajamnya.

"Jangan tidur, tolol!" bentaknya bersamaan dengan jatuhnya sebuah ranting pendek di atas jidatku. Aku mengaduh kesakitan. Pasalnya ranting itu cukup besar untuk membuat kepalaku benjol.

Sambil menyembunyikan jidat, aku mengintipnya dari sela-sela jari. Pemuda itu masih mengawasiku, dan tanpa mengalihkan pandangannya, ia memunculkan sebuah lingkaran emas di sampingnya, mengeluarkan gelas wine berlapis emas. Kukira kekuatan anehnya hanya untuk mengeluarkan senjata. Praktis sekali jika punya kekuatan seperti itu.

Beralih ke senjata yang tadi teracung, benda itu sudah sedikit menjauh dariku. Aku lantas bangkit untuk duduk. Ketika selimutku merosot, pakaianku yang setengah terbuka dengan banyak noda darah menampilkan perut Shamhat yang mulus dan bersih. Tunggu, bagaimana dengan, "Lukaku--" gumamku tertahan.

"Seharusnya aku tahu jika ada dewa yang menciptakan makhluk sepertimu," unkapnya yang membuat perhatianku terlalihkan. Pemuda pirang itu meneguk birnya dengan santai. "Fisikmu pun tidak memiliki ciri yang dimiliki oleh setengah dewa." Lantas, tatapan dari rubynya semakin mengintimidasiku lebih dari sebelumnya. "Katakan dengan jujur, siapa kau sebenarnya?"

Aku terkesiap. Terdiam cukup lama. Selain aku tidak tahu dan tidak bisa mengatakannya, aku pun ragu haruskah raja tiran ini mengetahuinya. Aku tidak ingin dimanfaatkan. Terlebih untuk hal yang buruk.

"Kau masih tidak mengerti?"

Kutundukkan kepalaku semakin dalam sebagai respon.

"Ulurkan tanganmu."

Ketika aku menatapnya kebingungan. Dia masih dengan ekspresi yang sama datarnya dengan tadi. Aku masih tidak mengerti dengan maksudnya, dan berfikir dalam-dalam apakah aku harus mengulurkan tanganku. Bertepatan dengan itu, sebuah pisau melesat dan menggores lenganku. Aku meringis kesakitan tanpa berani membalasnya.

"Lambat," hinanya padaku.

Seharusnya aku mengerti, dia raja tirani tulen.

"Lihatlah!" perintahnya kemudian.

Menurutinya, aku menatap luka di lenganku yang sedikit demi sedikit mulai tertutup rapat. Aku melongo. Ini tidak bisa kucerna dengan akal sehatku. Mengesampingkan keanehan itu yang cukup keren, ini sangat menakutkan. Lalu, apakah aku sama dengan monster?

Shamhat [Completed]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora