XXIV

157 37 3
                                    

Halo, ada yang masih inget cerita ini? 😣
Apa aku pergi terlalu lama? Masihkah cerita ini ada di perpustakaan kalian?

Jika masih, terima kasih sudah menunggu  😀 Terima kasih juga untuk yang baru sampai di lapak ini waktu aku hiatus dan tetep memberi dukungan melalui vote.
Karena notifnya tertimbun aku gak bisa berkunjung ke akun kalian satu persatu. Jadi, terima kasih juga yang sudah menambahkan Shamhat ke reading list.

Karena lagi ngambil libur cukup lama aku putusin buat nulis kelanjutan Shamhat. Kasian kalo ngegantung.

Selamat membaca...!

Mereka silih berganti menggumamkan sebuah kata. Kata yang tak lagi bisa kudengar. Aku seperti kembali ke tempat asalku namun tanpa bisa mengingat siapa diriku. Seorang wanita paruh baya yang tersenyum padaku, dan pria yang tampak lebih tua darinya duduk di kursi makan. Secangkir kopi yang mulai mendingin. Lalu seorang gadis yang lebih muda usianya dariku menepuk keras pundakku. Dia tertawa sambil menggumamkan kata yang lagi-lagi tidak bisa kudengar.

Pintu diketuk dan satu lagi gadis berkulit putih masuk ke ruangan itu. Aku meneguk ludah. Mereka semua tidak bisa kukenali. Mereka juga tidak berhenti menggumamkan kata itu. Telingaku berdengung seketika.

Aku ingin berteriak namun suaraku tak kunjung keluar. Aku tidak bisa berbicara. Nafasku sesak, pandanganku mengabur oleh air mata. Aku menangis.

"Shamhat."

Begitu aku terbangun dari mimpi buruk itu hanya air mata yang tetap memburamkan pandanganku.

"Mimpi buruk?"

Baru kusadari Enkidu terduduk di sampingku dengan senyum menenangkan. Begitu saja aku menerjangnya dengan pelukan. Ingatanku tak lekang dari mimpi itu. Ketakutanku terbawa hingga aku bangun.

"Kita sama. Aku..., juga terbangun karena mimpi yang buruk."

Sambil menenangkan diriku sendiri aku hanya diam tanpa membalas. Dia menepuk-nepuk punggungku pelan tanpa berbicara lagi. Cukup lama. Membuatku candu akan kehangatannya.

"Sudah lebih baik? Kau harus segera tidur."

Aku menggeleng pelan. Sifat aneh ini muncul tiba-tiba. Untuk sesaat, aku ingin dia lebih memperhatikanku. Menepuk punggungku dan membelai rambutku dengan lembut. Bahkan nafasnya yang berhembus di pundakku ikut memberiku ketenangan.

"Shamhat, sejujurnya ini berbeda dari dirimu yang biasanya. Apa mimpi itu begitu buruk?"

Aku hanya bangkit untuk memandangi bibirnya yang terus bergerak. Tanpa menjawab, dan membiarkannya menyuarakan namaku berulang kali. Aku tergoda, kupejamkan mataku lantas mengecup bibirnya singkat.

Belum selesai dia terkejut, aku kembali berbaring sembari memunggunginya. Aku tidak tahu apa yang mengusikku sampai aku berani melakukannya. Jadi aku kelewat malu bahkan untuk menatap matanya.

Tidak ada reaksi dalam beberapa detik. Tapi aku mulai merasakan dirinya yang mendekatiku.

"Shamhat," panggilnya pelan. Aku tidak tahu apa yang ingin dilakukannya, tapi aku terkejut saat ternyata dia telah mengurungku dengan kedua tangannya.

Surai hijau panjangnya menjuntai, menggelitik telingaku. Ekspresinya begitu polos sampai aku tidak bisa menebak apa yang sedang dia pikirkan. Lalu dia membalas kecupanku. Mengulum bibirku lembut.

Shamhat [Completed]Where stories live. Discover now