4. Give Me Butterfly Weed

1.4K 184 1
                                    

this orange flower means sad remembrance, hope from sorrow, and you can give to someone when you want to tell them to let you go

Hoppla! Dieses Bild entspricht nicht unseren inhaltlichen Richtlinien. Um mit dem Veröffentlichen fortfahren zu können, entferne es bitte oder lade ein anderes Bild hoch.

this orange flower means sad remembrance, hope from sorrow, and you can give to someone when you want to tell them to let you go





Langit begitu cerah, namun sepertinya hati Jeno justru tengah berbanding terbalik. Lelaki itu lebih memilih untuk berbaring pada ranjang kamarnya dibandingkan berjalan-jalan sore seperti yang ibunya lakukan. Jeno meletakkan tangannya di belakang sembari melihat pada langit-langit kamarnya, memikirkan banyak hal dan banyak kemungkinan.

Jaemin itu—katakan pada Jeno apa yang harus ia lakukan padanya?

"Aishhh, entahlah!"

Seiring dengan teriakan frustasinya, ia mendengar suara tawa renyah yang begitu familiar di telinganya. Jaemin, itu Jaemin. Jeno pun bangun dari tidurnya dan berjalan menuju balkon kamarnya untuk melihat pada rumah Jaemin yang berada tepat di depan rumahnya.

Jaemin memakai sebuah piyama berwarna beige dengan motif bunga. Ia terlihat sangat menawan meski dengan pakaian sederhana seperti itu. Pas sekali untuk memorak-porandakan hatinya yang sudah berantakan ini.

Di sanalah terduduk Jaemin bersama lelaki yang wajahnya tak Jeno kenal pada teras rumah mereka. Layaknya ibunya yang tengah menikmati sore, sepertinya Jaemin dan lelaki yang Jeno anggap sebagai kekasih baru Jaeminitu pun sama. Mereka tertawa bersama sembari meminum teh, menenangkan diri sejenak setelah hari yang panjang.

"Ckck, kau bahkan tidak sadar apa yang sudah kau lakukan padaku, Na Jaemin."

Keduanya tampak begitu bahagia dan terlihat tidak ada beban. Lelaki itu bisa menyentuh Jaemin dengan lembut kapan pun ia mau, bisa melihat senyum manis itu setiap hari, bisa mendengar suara Jaemin yang memabukan. Jeno begitu iri melihatnya.

Harusnya—harusnya, ia yang ada di posisi laki-laki itu.

Tapi, mengapa takdir harus begini? Menyiksanya tanpa ampun meski Jeno sudah lelah setengah mati. Seharusnya memang ia tidak pulang dan hidup saja dengan tenang di Seoul. Jeno kembali kesini untuk menarik titel pecundang yang ia tinggalkan sewaktu itu, tapi ia justru kembali untuk melipatgandakannya. Menyedihkan.

"Aku menyerah saja, ya? Jangan tarik aku lagi ke permainanmu," ucap Jeno bermonolog. Berharap hatinya ini bisa sampai pada si manis itu.

"Salah, Jaemin-ah. Harusnya kau berikan butterfly weed padaku, bukan hortensia merah muda itu."

***

Selain Renjun, sahabat karibnya tidak lain adalah Mark Lee. Temannya yang pernah tinggal di Kanada itu memang tidak sepintar Renjun ketika dimintai saran, tapi Mark itu justru akan lebih mendengar dan tidak memotong-motong. Jadi Jeno bisa menceritakan semuanya dengan jelas.

Seperti itulah mengapa mereka berakhir pada salah satu kafe dekat toko bunga Jeno. Berbincang sekaligus makan siang bersama. Lagi pula sudah lumayan lama sejak terakhir kali mereka bertemu. Mungkin sudah satu setengah tahu?

"Masih Jaemin? Aku kira setelah di Seoul, kau sudah menghapus dirinya sampai ke akar-akar," ucap Mark sembari menyesap kopi hitam panasnya.

"Seharusnya aku tidak kembali saja."

"Ya, tapi kau sudah. Lagi pula kasihan ibumu sendirian kalau kau di Seoul."

Jeno tertawa. Memang ibunya senang karena ia pulang, tapi wanita yang ia sayangi itu justru lebih sering keluar mengobrol dengan ibu-ibu lainnya dibanding di rumah menemaninya. Namun, justru itu membuat Jeno merasa senang. Artinya kalau ia tidak ada pun, ibunya tidak terlalu kesepian.

"Kau tidak tahu kalau ibuku dan ibumu setiap sore suara obrolannya kedengaran kemana-mana?" Mark tertawa sampai hampir menyipratkan kopinya. Memang ibu-ibu di daerah mereka ini paling sering kumpul-kumpul. Kadang membuat sesuatu bersama, lalu saat pulang Jeno akan dimasakkan dari bahan hasil buatan bersama itu.

"Benar sekali. Ayahku sampai harus sering menjemputnya."

Jeno tersenyum jadinya. Teringat Ayahnya juga yang dulu sering begitu kalau sampai sore ibunya belum di rumah. Entah apa yang ibu-ibu itu bicakan setiap hari, tapi selalu saja mereka berkumpul begitu.

Sembari meminum kopinya lagi, Mark mencoba bertanya, "tahu tidak kalau sekarang Jaemin juga sering ikut ibu-ibu itu berkumpul?"

"Oh, benarkah?"

"Iya, dia sudah menjadi seperti anak betulan ibu-ibu itu," ucap Mark, "seingatku beberapa hari yang lalu aku juga melihat Jaemin pergi bersama dengan ibumu ke pasar. Sepertinya mereka juga cukup dekat."

Ibunya dekat dengan Jaemin? Begitu mendengar perkataan sahabatnya, Jeno jadi teringat bunga di kebun rumahnya yang Jaemin berikan.

"Benarkah? Pantas Jaemin beberapa hari lalu memberikanku sebuah bunga."

Mark yang tadinya hanya memakan kuenya santai langsung mengangkat kepalanya, bingung dengan apa yang barusan sahabatnya katakan.

"Jaemin memberikanmu sebuah bunga?"

"Ya, lebih tepatnya dua kali."

Yang lebih tua menghela nafasnya keras lalu melempar tubuhnya pada sofa lembut kafe itu. Kepalanya pusing, sungguh tak habis pikir dengan perilaku Jaemin itu. Tak mengerti juga kenapa sahabatnya masih saja tak bisa lepas dari kisah cinta menyedihkannya itu.

Jeno pun jadi berpikir. Jaemin mungkin hanya memberikan bunga padanya karena rasa tidak enak pernah menyakiti anak dari seseorang yang dekat dengannya, tapi belum pernah meminta maaf dengan benar.

"Aku dengar ia sudah punya pacar baru. Betul, kah?"

Jeno mengangguk-anggukan kepalanya, "padahal kau yang selama ini tinggal di sini, masa tidak tahu."

"Aku tidak membuang-buang waktuku untuk mengurusi hidup orang, okay?"

Jeno menyesap americano panas di tangannya ini lalu melihat cairan hitam pekat itu lekat-lekat. Rasanya begitu pahit, tapi Jeno masih menyukainya.

Dulu ia selalu menganggap Jaemin sebagai bunganya yang paling indah. Namun, rasanya sekarang Jaemin itu lebih mirip dengan minuman di tangannya ini.

Pahit, tapi kau tak bisa menampik kalau kau menyukainya.

Jeno tersenyum miris entah untuk keberapa kalinya dalam hari ini.

"Jadi bagaimana menurutmu, hyung?"

Oh, tumben sekali Jeno memanggil Mark begitu.

Yang lebih tua pun tertawa. Masih tidak paham kenapa Jeno masih bertanya soal pendapatnya padahal jawabannya sudah sangatlah jelas.

"Tentu saja lupakan dia! Untuk apa kau mencintai orang seperti dia, Jeno-ya. Hidupmu terlihat begitu gelap sekarang."

Ya, Jeno sudah tahu jawabannya sejak awal. Kata yang begitu mudah untuk diucapkan, tapi meski sudah Jeno lakukan selama bertahun-tahun, tak satu pun ada perkembangan yang berarti.

Seandaianya saja melakukannya semudah mengatakannya.

Tapi, tak ada salahnya mencoba kembali, kan? Jeno sudah tidak tahan dan ingin segera keluar dari perasaannya ini. Sudah terlalu lelah dibodohi oleh hatinya.

Jeno pun mulai berpikir sejenak sembari ia memijat dahinya. Dari semua ide yang berterbangan dalam otaknya, ada satu ide yang terdengar sangat masuk akal dan sepertinya akan berhasil.

"Hyung, kenalkan aku pada beberapa wanita."

TBC

Semangat puasanya ya teman teman!!

il mio fiore [NOMIN ; Lee Jeno x Na Jaemin]Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt