17. Skeleton Under The Rain

827 127 14
                                    

You are a flower that turns transparent in the rainRegret is drenching the white petals between usIt may be transparent, but it's still there

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

You are a flower that turns transparent in the rain
Regret is drenching the white petals between us
It may be transparent, but it's still there

But I didn't know that the pain of letting go knowingly
Would kill me and tear me apart like this




Hari itu, entah mengapa matahari tak terbit begitu cerah. Langit terlihat mendung seakan siap menangis. Dari jendela mobilnya, Jeno bisa melihat beberapa tetangganya yang tidak jadi pergi ke lahan mereka berkumpul pada gazebo di sepanjang jalan.

"Sepertinya akan hujan besar," ucapnya.

Gadis yang duduk disebelahnya itu mengangguk sembari asik melihat keluar mobil. Entah apa yang ia tatapi, padahal ini hanyalah jalan yang selalu mereka lewati setiap hari. Tak ada yang spesial, tak pula sesuatu yang mengejutkan.

"Tidak apa-apa, aku suka hujan," balas Miu. "Ah, omong-omong tentang hujan, kau tahu bunga skeleton? Diphylleia grayi?" tanyanya yang masih melihat ke jalanan.

Jeno menggaruk rambutnya bingung. Meski sudah bekerja sebagai florist selama tiga tahun ia tak pernah mendengar nama bunga itu. Tak pernah ada distributor yang menyarankannya atau para pelanggan yang memesan.

"Ini pertama kalinya aku mendengar nama bunga itu."

"Tak apa, lagi pula bunga ini tak bisa tumbuh di Korea dan jarang juga yang menjadikannya sebagai hadiah." Miu membalikan tubuhnya, menghadapkan dirinya pada Jeno yang tengah menyetir lalu mulai bercerita. "Aku melihatnya saat keluarga kami liburan di Hokkaido. Awalnya aku mengira itu sebuah bunga biasa, tapi begitu hujan turun, kelopaknya berubah transparan seakan ia menjadi bersih dan jernih."

"Benarkah? Ada bunga semacam itu?"

Miu mengangguk semangat menjawab pertanyaan Jeno. "Cantik, ya? Aku menyukainya. Seakan bunga indah itu ingin aku membiarkannya pergi, tapi sebetulnya ia masih ada di sana. Lalu begitu hujan berhenti, ia akan kembali. Luar biasa, ya?"

"Ayo melihatnya bersama suatu hari," ucap Jeno yang menoleh sejenak pada kekasihnya itu. Miu kembali mengangguk setuju. Bisa melihat bunga ini bersama Jeno mungkin akan jadi kenangan yang indah dalam hidupnya.

Perlahan hujan mulai turun membasahi segalanya yang terlihat olehnya. Suara rintik-rintik yang sebelumnya terdengar samar mulai jelas dan keras. Jeno menyalakan penyeka kaca mobilnya agar pandangannya di depan tak terganggu.

Udara pun mulai terasa dingin. Miu disebelahnya menyandarkan tubuh lalu memeluk dirinya sendiri dengan lembut. Jeno yang melirik dari ujung matanya itu merasa khawatir, ia usap rambut gadis itu pelan, "Dingin?" Miu yang hanya memakai gaun tipis itu tentu mengangguk. "Di kursi belakang ada jaketku. Pakailah," ujarnya.

Gadis itu menemukan sebuah jaket kulit berwarna cokelat pada kursi belakang. Segera saja ia pakaikan di tubuhnya. Rasanya begitu hangat, apalagi dari jaket ini menguar wangi khas Jeno yang menenangkan. Saking nyamannya, ia sedikit merasa mengantuk.

"Benar tidak apa-apa tidak di depan tokomu saja? Sedang hujan, lho."

Benar juga. Karena arah dari hotel yang mereka tinggali semalam itu searah dengan rumah Jeno, Miu minta diturunkan di sebrang jalan saja. Katanya kasihan kalau Jeno harus memutar balik lalu memutar balik lagi untuk ke rumahnya.

"Iya, tidak apa-apa. Aku bawa payung, kok."

Jeno pun memberhentikan mobilnya tepat di sebrang tempat tinggal kekasihnya. Ia kecup pelan pipi gadis itu sebelum ia pamit untuk pulang ke rumahnya. Miu pun mengambil barang-barangnya lalu membuka pintu mobil.

"Aku pergi, ya," ucapnya.

"Hati-hati," balas Jeno.

Miu tertawa pelan. Padahal ia hanya perlu menyebrang jalan sedikit untuk sampai di rumahnya tapi Jeno tetap mengingatkannya untuk hati-hati. Ia pun melambaikan tangannya, tapi Jeno menyuruhnya untuk menyebrang dulu.

Gadis itu pun berjalan sembari melambaikan tangannya pada Jeno dengan santai. Jeno yang tengah meletakan tangannya pada stir mobil itu tersenyum. Sampai senyumannya tergantikan oleh mata membolanya.

Itu terjadi dalam hitungan detik. Begitu saja tanpa bisa Jeno cegah. Jeno pun panik, langsung ia keluar dari mobilnya dan membanting pintunya kasar. Kakinya berlari sekencang mungkin, tak memedulikan suara klakson mobil yang saling beradu atau pun air yang menghujani dirinya hingga basah.

Pesan terakhirnya pada gadis itu rupanya karena ini. Meski Miu malah tertawa dan berjalan santai tanpa memperhatikan sekitarnya, rupanya itu adalah tanda akan kejadian ini.

Tubuhnya jatuh begitu saja pada tanah yang dingin, kakinya bersimbah tak berdaya pada tubuh kekasihnya yang terbaring setelah terlempar entah berapa jauh dari tempatnya tertabrak tadi. Nafasnya begitu tak karuan melihat pemandangan gadis itu yang dipenuhi oleh darah.

Hal berikutnya yang Jeno dengar adalah teriakan dari suara familiar. Itu adalah ibu dari kekasihnya. Tangisan sedih wanita tua itu mengalahkan suara rintik hujan yang begitu deras pada telinganya. Sebelum Jeno sempat memeluk tubuh itu, wanita tua yang melahirkan Miu itu langsung menagis sembari mendekap tubuh putrinya erat-erat.

"Miu..... Miu...." panggilnya lirih berkali-kali. Sayangnya tak ada jawaban, Miu sudah tak sadarkan diri.

Paham akan apa yang terjadi, Jeno mengeluarkan ponsel dari dalam sakunya dan segera menelpon ambulans. Berharap mereka bisa menolong nyawa gadis yang beberapa saat lalu masih tersenyum bersamanya itu, gadis yang berjanji untuk melihat bunga bersamanya di bawah hujan.

Jeno berharap Miu bisa menjadi seperti bunga skeleton yang tadi mereka bicarakan. Meski ia menghilang saat hujan, tapi sebenarnya masih ada di sana dan akan kembali setelah hujan reda. Jeno berdoa agar Tuhan hanya mengambilnya sementara dan akan mengembalikan Miu setelah ini.

"Miu-ya, aku mohon bertahanlah," doanya.

Jeno genggam tangan gadis itu yang terasa dingin. Ia genggam sembari berdoa dengan sungguh-sungguh dalam hatinya. Tak Jeno lepaskan genggaman itu bahkan setelah petugas kesehatan datang dan membawa tubuh tak berdaya Miu ke dalam mobil ambulans.

Jeno tinggalkan mobilnya yang ia parkirkan di jalan itu dan masuk ke dalam ambulans bersama ibu dari Miu. Tak mungkin dalam keadaan begini untuknya menyetir. Bibirnya tak berhenti berdoa sejak tadi. Tak henti ia berharap akan keajaiban Tuhan.

Tapi begitu ia melihat petugas kesehatan itu saling menggelengkan kepalanya satu sama lain setelah mengecek keadaan Miu, jantung Jeno rasanya terhenti.

Tidak.

"Ku mohon tidak," batinnya.

Dan begitu sampai di rumah sakit, hal yang sangat tak ingin ia dengar, hal yang ia harap tidak terjadi justru yang keluar dari mulut dokter. "Ku mohon tidak," pintanya sekali lagi.

"Waktu kematian, 14.26."

Dan itulah satu kalimat yang membuatnya jatuh.

Jeno kembali kehilangan orang yang ia sayangi.



TBC

Ya, inilah chapter favoritku.

Bukan karena finally orang ketiganya udah nggak ada. Aku bahkan nangis pas nulis ini😭😭 sedih aja bayangin oshi kesayanganku begitu

Tapi ini jadi favoritku karena feel-nya aku suka sih hehehe

Tunggu chapter selanjutnya ya!!!

Terima kasih untuk 1,5K viewersnya teman teman!!!

il mio fiore [NOMIN ; Lee Jeno x Na Jaemin]Where stories live. Discover now