36. The End of a Yellow Roses

1.1K 120 9
                                    

Yellow roses and yellow flowers, in general, they were associated with negative feelings like jealousy, the end of a relationship and even infidelity

Deze afbeelding leeft onze inhoudsrichtlijnen niet na. Verwijder de afbeelding of upload een andere om verder te gaan met publiceren.

Yellow roses and yellow flowers, in general, they were associated with negative feelings like jealousy, the end of a relationship and even infidelity.

Jaemin duduk terdiam di atas sofa ruang tamunya. Kakinya ia lipat kemudian dipeluk ke dadanya. Di hadapannya ada Jeno yang terus menerus menghela nafas dan hanya menundukan kepala.

Dalam suasana yang suram, tak ada satu pun dari mereka yang hendak membuka mulut untuk bicara. Tidak pun dengan Jaemin yang meminta percakapan ini, apalagi Jeno yang jelas sedari tadi menolak dan menyuruh Jaemin untuk istirahat saja.

Baru tiga hari sejak pertengkaran besar mereka kemarin. Entah karena merasa canggung atau tidak tahu mau bicara apa, mulut keduanya terkunci rapat sejak mereka mendudukan diri pada sofa ini.

"Kau sungguh tidak apa-apa?"

Akhirnya Jeno pun membuka suara, mengekspresikan kekhawatirannya pada Jaemin yang baru saja mengalami hal mengerikan tapi tampak baik-baik saja. Kalau Jaemin menangis dan ketakutan, Jeno mungkin bisa menenangkannya.

Namun, kalau Jaemin diam saja? Jeno justru menjadi lebih khawatir.

"Tidak apa-apa. Tidak usah khawatir. Aku sudah terbiasa, lagi pula ini bukan satu atau dua kali," ucap Jaemin dengan senyum pedihnya.

Jeno menatap Jaemin yang terlihat tenang itu, "Tetap saja, kau hampir.... Sudahlah, syukurlah kalau kau baik-baik saja."

"Tidak perlu khawatir soal itu. Hal yang ingin ku tanyakan dan ku bahas denganmu bukan soal itu."

"Lain kali saja, ya? Kau baru saja mengalami hal seperti ini."

Jaemin menurunkan kedua kakinya lalu ia pun bangun dari duduknya. "Tidak, hal yang membuatku khawatir sekarang adalah sikapmu. Apa kau kau saat ini kau sangat membingungkan, Jeno-ya? Berubah-ubah semamumu? Kemarin kita saling mengasihi lalu kau membuangku dan sekarang apa? Kau khawatir karena aku akan diperkosa? Kau tidak memikirkan apa yang aku rasakan atas perilakumu?"

Jeno tidak menjawab, ia tetap diam dan hanya menatap Jaemin. Tak sepatah kata pun ia ucapkan, Jeno seakan membiarkan Jaemin melakukan hal yang ia inginkan. Tidak apa-apa kalau ia ingin marah dan meluapkan perasaannya, Jeno entah mengapa ingin melakukan hal itu.

Kemarin ia sudah meluapkan kemarahannya dan menjadi begitu jahat pada Jaemin. Ia sadar dan paham, tapi hari itu Jeno berusaha tidak peduli. Jeno ingin egois dan saat ini ia ingin Jaemin melakukan hal yang sama.

Mengeluarkan seluruh emosinya. Segala sesuatu yang ingin ia ucapkan tapi ditelan begitu saja. Setidaknya Jeno ingin Jaemin bisa melakukan itu semua sekali saja.

"Memang benar kata orang. Kalau manusia itu hanya melihat rasa sakitnya dan kesalahan orang lain tapi buta akan apa yang sudah ia lakukan," sindir Jaemin.

Ya, sekali lagi Jeno tidak menjawab sama sekali. 

"Jangan berpura-pura semuanya tidak terjadi. Itu hanya 3 hari yang lalu! Kalau kau bisa melakukannya, aku tidak! Setiap kata-kata kejammu masih teringat dibenakku."

Jaemin membalikan tubuhnya, menghalangi Jeno untuk melihat matanya yang mulai berair itu. Napasnya pun terhela berat, sekuat tenaga Jaemin menahan tangisnya. Ia tidak mau menangis lagi, sudah cukup air matanya yang berjatuhan selama ini.

"Kenapa kau melakukan ini? Khawatir? Jangan konyol! Kemarin kau tidak khawatir sama sekali denganku!"

"Kenapa?! Jawab, Jeno-ya! Kalau kau ingin hancurkan aku, lakukan dengan benar. Jangan menarik-ulur seperti ini. Rasanya lebih menyakitkan, kau tahu?" Jaemin berbalik dengan wajahnya yang sudah memerah, "Kau tahu kalau kau seperti ini membuatku kembali berharap?"

Jeno bangkit dari duduknya begitu mendengar kalimat terakhir dari si manis itu. Jaemin kembali berharap pada dirinya? Bagaimana bisa? Ini tidak seperti yang Jeno pikirkan. Yang ia inginkan hanyalah Jaemin merasa lebih lega terhadap perasaannya bukannya kembali mengharapkannya seperti ini.

"Mengharapkanku? Mengapa?"

"Mengapa?! Lalu apa yang kau maksud dengan semua ini?"

Jeno pun berjalan dan mendekati Jaemin yang berdiri dengan lunglai di depannya itu. Ia letakan tangannya pada bahu lelaki itu lalu ia usap perlahan. "Jaemin-ah, selama 3 hari ini aku banyak berpikir dan juga aku mendapat banyak pelajaran dari ibuku."

Jaemin mengernyitkan dahinya bingung, "Maksudmu?"

"Ya, aku memutuskan untuk menceritakan segalanya pada ibuku." Jeno pun menatap Jaemin tepat pada matanya. "Aku merasa begitu bersalah karena sudah melampiaskan amarahku padamu. Semua yang aku katakan kemarin mungkin memang ada beberapa yang benar, tapi aku tidak bermaksud mengatakannya."

"Aku hanya begitu sedih, hatiku rasanya ingin meledak setiap saat tiap kali aku mengingat Miu. Rasa bersalahku, rinduku, semuanya bercampur jadi satu dan aku tidak tahu harus mengungkapkannya pada siapa. Akhirnya pun aku meledak hari itu dan melampiaskannya padamu."

"Aku sungguh minta maaf akan itu. Lalu aku rasa aku bisa melakukan hal gila kalau tidak punya tempat bersandar dan disanalah ibuku. Beliau memelukku begitu aku pulang dari rumahmu dengan wajah merah penuh amarah."

"Sekarang aku sudah mulai belajar untuk menerima semuanya. Dan aku hanya berharap kau bisa melakukan hal yang sama juga. Aku tidak menyangka justru itulah yang kau tangkap."

Jaemin melepas tangan Jeno yang berada pada bahunya. Jeno itu bodoh atau apa? Tidak jelaskah ia tentang perasaan Jaemin yang mencintainya itu?

"Lalu apa maumu sekarang? Apa yang bisa berubah kalau aku melakukannya? Aku bisa mendapatkan apa yang aku inginkan?" ucap Jaemin heran dengan penjelasan Jeno itu.

Jeno menganggukan kepalanya lalu tersenyum tulus pada Jaemin, "Tentu, aku juga berharap kau bisa bahagia."

Jaemin terdiam sejenak sementara Jeno di depannya masih memerhatikan dirinya. Ia pun menutup mata sebelum kemudian membukanya kembali dan menatap mata Jeno lekat-lekat.

"Kalau yang aku inginkan dan kebahagiaanku adalah dirimu, bagaimana? Kaulah yang aku inginkan, Jeno-ya," ucap Jaemin lantang.

"Jaemin-ah?"

"Tidak bisakah kita melupakan semuanya saja dan mulai dari awal?"

Jaemin pun pada akhirnya tidak bisa menahan tangisnya. Tubuhnya jatuh pada sofa seiring dengan air matanya yang berjatuhan. Jeno yang menatap Jaemin seperti itu merasa sedih.

Setelah semua yang mereka lalui Jaemin masih menginginkannya?

Jeno tidak mengira kalau rasa cinta yang Jaemin berikan padanya begitu besar dan dalam. Selama ini ia tidak pernah menyangka kalau perasaan Jaemin seserius ini.

"Dengarkan aku. Dari ucapanku kemarin, ada satu hal yang benar dan aku harap kau bisa tahu." Jeno berlutut kemudian memegang tangan Jaemin. "Maafkan aku. Aku memang tidak mencintaimu, Jaemin-ah."

Semua kata menyakitkan yang Jeno katakan kemarin tidak terasa sakit lagi setelah mendengar perkataan Jeno yang terakhir. Perkataan jujur yang paling menyakitkan dari Jeno.

Sepertinya, inilah akhir kisah mereka. Kisah mereka yang sudah tidak bisa diselamatkan lagi. Dan Jaemin hanya mampu menangisinya.

TBC

Wadaw aku parah ya....

il mio fiore [NOMIN ; Lee Jeno x Na Jaemin]Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu