43

3.5K 207 30
                                    

Setelah melalui perjalanan pulang yang dipenuhi dengan suasana mengerikan, akhirnya Nara sampai di rumahnya dengan selamat. Tentunya ia diantar oleh Raffa.

Nara segera turun dari mobil. Ia menutup pintu dengan sangat pelan, takut jika semakin merusak mood Raffa yang sepertinya sedang hancur. Sebelum ia berbalik, ia teringat akan sesuatu yang menurutnya sangat penting.

Matanya membulat sempurna. Makalahnya, ya makalah itu belum selesai. Besok pagi adalah waktu pengumpulannya. Ia ingin berteriak sekarang juga, namun ia sadar akan kondisi yang tidak memungkinkannya berteriak pada Raffa.

"K-kak, m-makalah gue gi-gimana?" Tanya Nara dengan bibirnya yang bergetar.

"Gue yang kerjain."

"Jangan! Nanti malah ngerepotin lo."

"Dari awal udah ngerepotin."

Jleb

Seperti ada pisau yang menancap hati Nara. Sakit tapi tak berdarah. Mulutnya mengatup serapat-rapatnya. Dalam hati ia menyumpah serapahi pria itu.

Kalau ia tidak mengingat mood Raffa yang sedang buruk mungkin ia akan membalas perkataan pria itu. Namun sekarang yang bisa ia lakukan hanya memendam dan membatin pria itu.

"Mana hasil wawancara tadi?" Raffa melihat ke tangan Nara yang membawa beberapa lembar kertas.

"Serius lo yang ngerjain?" Nara terlihat ragu dengan Raffa.

"Ck. Menurut lo?"

"Tapi kan ini buat besok pagi. Lo bisa ngerjain semaleman, Kak?"

"Bisa."

Nara tersenyum sumringah. Ia mendekat kembali dan menyerahkan kertas yang dibawanya melalui jendela mobil. Raffa segera menerimanya tanpa menatap gadis itu.

"Ya udah, gue masuk dulu ya, Kak. Udah Maghrib, katanya kalau Maghrib nggak elok di luar rumah. Makasih juga udah bantuin gue," Nara menunjukkan senyum manisnya.

Tanpa menunggu balasan dari Raffa ia segera berbalik. Toh ia juga sudah tahu kalau pria itu tak akan membalasnya meskipun ia menunggu.

Tinggal beberapa langkah lagi gadis itu berhasil mencapai pintu. Namun ia rasa Raffa belum pergi dari tempatnya. Bahkan mesin mobilnya pun belum dihidupkan.

"Kanara!"

Dalam sekali gerakan Nara telah berbalik menghadap ke belakang. Nara mengangkat alisnya, mewakilkan pertanyaan yang muncul di dalam benaknya.

"Gue minta lo jauhin dia,"

"Dia siapa?" Timbul beberapa kerutan di kening gadis itu. Otaknya cukup lambat untuk mengerti 'dia' yang dimaksud oleh Raffa.

"Kevin,"

Nama itu. Benar dugaan Nara, pasti ada apa-apa di antara keduanya. Gadis itu yakin Raffa mengenal Kevin. Jika mereka tak saling kenal, maka tak mungkin kan jika mereka melihat satu sama lain bagaikan musuh?

"Kenapa?" Nara memiringkan kepalanya. "Kevin orangnya baik kok. Tadi dia udah nolong gue waktu hp gue jatuh. Dia nggak aneh-aneh tuh orangnya.

"Lo nggak tau dia siapa," ucap Raffa dingin. Bisa ia rasakan rahangnya yang mengeras.

"Mungkin gue bakal tau kalau gue kenal deket sama dia," beo Nara polos. Gadis itu tak menyadari mood Raffa yang semakin memburuk.

"Jangan deket dia!"

Permintaan Raffa lebih terdengar seperti perintah yang tidak bisa dibantah oleh siapapun. Lebih baik Nara diam daripada diamuk oleh pria dingin nan cuek itu.

NARAFAWhere stories live. Discover now