48

3.3K 250 74
                                    

Tap tap tap

Suara langkah kaki Nara terdengar nyaring di perpustakaan Vilgold. Hal itu dikarenakan suasana perpustakaan Vilgold yang sepi. Jadi derap kaki pelan pun seolah-olah terdengar sangat keras.

Ketertarikan murid Vilgold pada dunia literasi memang sangat rendah. Hanya beberapa murid yang mau mengunjungi perpustakaan. Itupun bisa dihitung jari dan orangnya hanya itu-itu saja.

Nara mengitari rak buku fiksi sendirian. Ketiga sahabatnya itu sama seperti murid Vilgold lainnya, minat bacanya sangat rendah.

"Akhirnya ketemu juga tuh novel yang gue cari. Capek juga dari tadi cuma cari tuh novel," ucap Nara dengan mata berbinar saat melihat novel incarannya ada di depan mata.

Tangannya berusaha meraih novel itu. Sayangnya tangan mungilnya itu tak sampai mencapai novel itu karena letaknya di rak paling atas.

Kakinya berjinjit-jinjit. Kurang sedikit lagi tangannya bisa menyentuh novel itu. Namun sebuah tangan kekar telah mendahuluinya mengambil novel itu.

Nara terdiam beberapa saat setelah melihat siapa pemilik tangan kekar itu. Manik matanya beradu pandang dengan manik mata elang di depannya ini.

"Nih, novel yang lo pengen," Raffa menyodorkan novel di tangannya.

Nara tak menggubrisnya. Gadis itu berbalik dan meninggalkan novel yang sudah ia incar. Sekarang ini ia hanya ingin menjauh dari Raffa. Tak peduli dengan apa yang akan pria itu pikirkan tentangnya.

"Sampai kapan lo akan terus hindari gue?" Tanya Raffa datar. Seolah suaranya itu adalah pusat kontrol rem langkah Nara sehingga dapat membuat Nara berhenti.

Nara membalikkan badannya. Ia menatap Raffa dalam diam. Ia sendiri juga tak tahu sampai kapan akan terus menghindari pria itu.

"Selama gue mampu hindari lo, gue akan terus hindari lo," ucap Nara tegas. Raffa tersenyum miring, meremehkan ucapan gadis itu.

"Lo nggak capek jadi pengecut yang terus-menerus hindari perasaan lo sendiri?" Raffa mengembalikan novel yang ada di tangannya ke tempatnya semula.

Nara melangkah maju. Ia menatap Raffa kesal. Pria itu seperti tak sadar diri saat mengatainya pengecut. Padahal jelas-jelas ia sendiri yang telah menjadi pengecut.

"Sorry, gue bukan pengecut. Bukannya yang pengecut itu lo, ya?"

"Iya, gue emang pengecut dan lo adalah penyebab gue jadi pengecut," jawab Raffa tenang. Ia ingin melihat ekspresi apa yang akan ditunjukkan oleh gadis itu.

"Sekarang gue mau tanya sama lo, apa lo mau selesaikan masalah diantara lo dan gue?" Tanya Raffa.

Membisu, itu yang dipilih Nara sekarang. Tentu saja ia ingin masalah ini selesai. Namun selesai yang dimaksud Raffa di sini dengan cara apa? Ia tak mau membohongi hatinya sendiri.

"Nanti malem gue jemput lo, selesaikan masalah ini secara baik-baik. Gue harap lo nggak akan hindari gue lagi," Raffa menatap Nara dalam. Kemudian ia pergi meninggalkan Nara dengan semua pikiran kacaunya sendirian.

-----

Raffa langung menghempaskan tubuhnya ke kasur empuk miliknya begitu sampai di kamarnya. Wajahnya ia sembunyikan di balik bantal berwarna putih.

Hari ini cukup menjadi hari terberat untuknya. Bukan karena materi pelajaran, namun karena materi cinta Nara yang cukup rumit baginya yang masih pemula. Ditambah lagi dengan tata cara memahami seorang perempuan yang selalu ingin dimengerti tapi sulit untuk didekati.

NARAFAWhere stories live. Discover now