Chapter 21

1K 145 21
                                    

Yang terlihat baik di luar, belum tentu baik dari dalam. Itu semua karena tidak ada yang boleh menilai seseorang hanya dari luar.

oOo

(Namakamu) memandang pemandangan yang berada di hadapannya. Rumah-rumah yang padat dan langit sebagai atapnya. Langit abu-abu itu mendukung suasana hatinya saat ini. Ketika pulang sekolah tadi, Nadhif bertanya bagaimana dirinya dengan Iqbaal. Dan (Namakamu) hanya menjawab dengan senyum tipis. Laki-laki itu paham. Dan ia langsung mengajak (Namakamu) pergi untuk sekedar menyegarkan pikirannya.

Lagi dan lagi (Namakamu) menolak Nadhif. Ia merasa tidak enak dengan laki-laki yang telah disakitinya itu. Nadhif masih saja baik terhadapnya. Mengapa laki-laki itu tidak menjauhinya saja? Perasaan bersalah (Namakamu) terhadap Nadhif terlalu meluap. Ingin rasanya ia cepat-cepat melewati hari agar ia bisa menghindar dari sini.

Jakarta bukanlah rumahnya.

Ia merindukan Bali yang selalu membuat (Namakamu) tenang ketika berada di sana. Bali dapat memberikan kenyamanan sekaligus keamanan bagi (Namakamu).

"Nggak sampe sebulan lagi abis itu balik ke Bali dan lo bebas, okay? Calm."

Itulah ucapan yang terlontarkan ketika gadis itu berusaha menenangkan dirinya. Dan berhasil. Ia sedikit tenang ketika mengingat waktu tidak akan lama lagi untuknya bisa pergi dari Jakarta.

"Kalo gue nggak keterima SNMPTN, pas SBM pilih panlok Bali bisa kan ya?"

"USBN, intensif, UN, dan segera pergi."

Ketika sedang asyik bermonolog, bel apartemennya berbunyi terus menerus. Ia lantas mengehela napas kasar. Siapa sih yang mencoba menganggu ketenangannya? Tidak tahukah dia bahwa suasana hati gadis ini sedang tidak baik? Tidak ada sedikitpun niat dari (Namakamu) untuk bangkit ke arah pintu dan menyapa seseorang di balik sana. Entah siapa itu.

Ia tetap pada posisinya dengan mencelupkan kakinya ke kolam renang.

Ketukan pintu berhenti, tetapi ponselnya yang berbunyi. Iqbaal.

Nama itu tertera di layar ponselnya. (Namakamu) bahkan enggan untuk menyentuhnya. Tidak semudah itu untuk merelakan sesuatu yang kita sayangi. Lihat? Bahkan ketika laki-laki itu menyakitinya untuk kesekian kali, (Namakamu) tetap berkata bahwa ia menyayangi Iqbaal?

"(Namakamu)!"

"Please, open the door!"

"(Namakamu)!"

Biarlah laki-laki itu memanggilnya smapai berteriak, toh di lantai delapan ini hanya dirinya dan Iqbaal yang menghuni.

Tidak perlu takut akan ditegur oleh tetangga.

(Namakamu) mengambil ban yang berbentuk angsa. Lalu ia segera menaikinya dan berbaring di atasnya.

 Ia menyumpal telinganya dengan earphone yang sudah tersambung di ponselnya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Ia menyumpal telinganya dengan earphone yang sudah tersambung di ponselnya. Ponselnya ia aktifkan mode pesawat agar tidak ada yang bisa mengganggu. Lalu setelah selesai dengan urusan ponsel, ia meletakannya di sebelah pinggangnya. Dan segera mengambil alih novel yang ia anggurkan dari tadi.

Good Enough (Completed)Where stories live. Discover now