Bab 1 : Awal Mula

27K 1.3K 27
                                    

Pulang dari kampus menggunakan kendaraan umum sangatlah melelahkan. Harus berdesak-desakan dengan orang sedangkan cuaca diluar sangatlah panas. Aku harus menahan napas ketika mencium bau keringat yang sangat menyengat dan membuatku ingin muntah.

Hari ini adalah hari yang sangat sial bagi ku handphone ku mati. Aku tidak bisa memesan ojek online. Biasanya aku akan ikut pulang dengan sahabat ku berhubung hari ini aku mendapatkan tugas terpaksa aku harus pulang sendiri.

Ini semua gara-gara Ina ketua kelompok kami yang sangat keras kepala. Aku dan kelompok dipaksa menyelesaikan tugas pada hari ini juga. Sedangkan tugasnya baru diberikan tadi pagi dan waktu pengumpulan nya masih satu minggu. Terpaksa kami semua harus mendekam di perpustakaan.

Di depan rumah, ku lihat banyak pasang sandal yang berserakan. Itu pasti bukan sandal keluarga ku, kami hanya tinggal bertiga di rumah. Aku putuskan untuk segera mencari tahu.

"Assalamualaikum"aku mengucapkan salam. Setelah mereka menjawab salam. Aku bergegas mencari keberadaan ibu. Aku sempat melihat Atha diantara keluarganya. Ini adalah hal sangat aneh, tidak biasanya dia ikut. Walaupun kami bertetangga, aku sangat jarang melihatnya. Hanya ibu atau bapaknya yang terkadang datang berkunjung dan hanya sekedar berkeliaran di halaman rumah.

Atha sangat berbeda, saking tidak pernah ketemunya kami. Aku sampai melupakan keberadaannya, yang merupakan tetangga ku.

Ibu sedang membuat minuman di dapur. Aku bergegas mendatanginya ada sesuatu yang ingin ku tanyakan.
"Ada apa ini Bu kok rame banget ?" Aku bertanya kepada ibu, namun sayang jawabannya membuat tingkat penasaran ku bertambah.

"Nanti juga kamu tau" Ibu menjawab dengan singkat. Setelah itu Ibu menyuruh ku membawa nampan dan segera ikut bergabung bersama ayah dan keluarga Atha.

Setelah menyimpan minuman di meja aku duduk di sebelah Ayah. Tiba-tiba tangan Ayah menggenggam tanganku dengan erat. Perkataan dari Om Wira membuat tubuh ku gemetar. Jadi ini alasan dia hadir, alasan kenapa tiba-tiba rumahku sangat ramai. Dan alasan mengapa Ayah menggenggam tanganku dengan erat.

"Menikah dengan anak Om ya Na" kata itu terus saja berputar bagai kincir angin dalam kepalaku. Ku tatap wajahnya, ternyata Atha sedang menatap ku juga. Kami hanya saling diam, wajahnya masih sama dingin tanpa ada senyuman. Dan aku tidak tahu apa yang harus katakan sebagai jawaban untuk pertanyaan Om Wira.

"Dina mungkin kaget Wir, saya mengerti maka dari itu Ayah serahkan jawabnya kepada Dina. Biar Dina sendiri yang menentukan jalan hidupnya." Ayah mengelus tangan ku dengan lembut. Aku bersyukur ayah mengerti dengan apa yang aku rasakan.

Meski semua jawaban di serahkan kepada ku, sorot mata ayah terlihat sangat berbeda. Aku melihat banyak harapan di sana. Salah satunya, menerima lamaran dari Atha. Entah ini perasaan aku saja. Atau memang benar adanya.

"Kalau menurut pendapat ibu, Dina terima saja lamaran Atha. Insyaallah Atha adalah yang terbaik untuk mu" bisikan dari ibu semakin menambah beban dalam diri ku. Jika ibu saja memiliki keinginan seperti itu. Tidak menutup kemungkinan ayah pun sama. Lantas mana yang harus aku ikuti.

Jawaban seperti apa yang harus aku berikan. Mereka semua seolah menaruh harapan besar kepadaku. Aku disuruh untuk memilih tetapi tidak ada jawaban lain selain setuju.

Akhirnya aku hanya dapat menganggukkan kepala menerima lamaran dari Atha. Semua ini aku lakukan untuk kebahagiaan kedua orang tua. Semoga saja ini adalah hal yang benar.

Setelah mendengar jawaban ku, raut wajah semua orang berbeda. Sepertinya mereka sangat bahagia, kecuali kami bertiga. Aku tidak dapat menebak bagaimana perasaan Atha hinga saat ini. Wajahnya selalu saja datar tanpa ekspresi. Apalagi adiknya yang asik sendiri dengan handphonenya. Aku bertaruh pasti dia terpaksa ikut kesini. Raut wajah ketidak peduliannya menjawab itu semua.

Aku tak mengerti, apa yang mereka harapkan dari seorang Dina Nabila. Atha bisa mendapatkan istri yang sempurna. Untuk urusan memasak aku tidak begitu pintar. Aku hanya seorang mahasiswi semester 5 yang belum mempunyai pengalaman hidup. Jika aku menikah dengan Atha aku hanya akan menjadi bebannya.

Lamunanku terhenti ketika ibu menyuruh ku untuk berdiri. Atha mengeluarkan cincin dari saku celananya. Dia segera memasangkannya di jari manisku. Saat Atha menyerahkan seserahan aku baru tersadar. Kenapa tadi aku tidak melihatnya. Setidaknya, aku dapat menebak apa yang terjadi dan segara menyiapkan jawaban penolakan terlebih dahulu.

Aku kira waktu pernikahan akan dilaksanakan setelah aku lulus. Atau setidaknya setelah Atha mendapatkan pekerjaan. Semua itu hanya omong kosong belaka. Kedua keluarga sepakat akad nikah akan dilaksanakan dua bulan dari sekarang. Untuk urusan pernikahan, kami berdua sepakat menyerahkannya kepada orang tua. Atha hanya meminta acara resepsi dilakukan dengan sederhana saja.

Ibu Atha sangat antusias mengenal kan ku kepada anggota keluarganya yang lain. Walaupun sudah dikenalkan, aku tidak bisa mengingat nama mereka. Menurut ibu Atha, hampir semua anggota keluarga mereka datang ke sini. Pantas saja begitu banyak sandal tadi. Dan aku merutuki kebodohanku.

Acara selanjutnya dilanjutkan dengan makan-makan. Percakapan banyak didominasi oleh para orang tua. Aku hanya berbicara sebentar dengan Arin sepupu Atha. Sedangkan Atha sendiri hanya ikut dengarkan tanpa berkomentar.








Bersambung

Why Atha (Lengkap)Where stories live. Discover now