Bab 16: Hadirnya Orang Lain ✔

8 1 0
                                    

Maret 2016

Setelah Rire pergi pada rutinitas kuliahnya, Randi kembali merasa kesepian. Dengan jarak sejauh itu, tidak mungkin Randi tidak rindu.

Ada kalanya Rire marah di saat Randi melakukan salah, terlambat membalas pesannya atau tidak menjawab teleponnya. Akhir-akhir waktu seakan selalu saja Randi yang salah.

"Aku minta maaf, Re," ucapnya. Membujuknya menurut Randi adalah hal tersulit di dunia. Apakah perempuan memang seperti itu?

Randi mengira Rire bersikap begitu karena ingin mendapat perhatian. Rindu, satu kata yang pasti. Kesibukan Randi di sanggar, tugas sekolah yang selalu bertumpuk, kadang kala ia benar-benar kewalahan. Di saat ia sedang lelah, Rire justru marah.

Namun, Randi tahu satu hal, bila seseorang sedang marah, solusinya adalah diam. Beri dia waktu untuk menenangkan diri. Benar, cara itu memang berhasil.

"Maaf tadi aku marah-marah," ucap Rire di sana via pesan. Randi tersenyum. Randi hanya ingin terus baik-baik saja selama bersama gadis itu. Rire lalu bertanya padanya, "Ran, kenapa tiap aku marah ke kamu, kamunya nggak pernah balik marah?"

"Karena api kalau dibalas dengan api, apinya akan makin besar. Api itu harus dibalas dengan air supaya apinya padam," balasnya. Randi yakin Rire di sana tersenyum membaca pesannya itu.

[]

Randi diundang pada sebuah acara ulang tahun temannya di sebuah kafe. Ia pergi bersama Angga. Saat acara berlangsung, seorang gadis mengenakan pasmina biru menghampiri Angga, namanya Yura. Angga lalu mengenalkan pada Randi bahwa Yura adalah temannya saat SMP.

"Kalian satu kelas, ya?" tanya Yura pada Angga. Sesekali ia tersenyum pada Randi.

"Iya, dua tahun ini sekelas terus," cerita Angga.

Keduanya lalu mengobrol, sedang Randi hanya ikut menyimak.

[]

Saat di sekolah, Angga berkata bahwa Yura ingin berkenalan dengan Randi, "Yura minta nomormu. Boleh nggak?"

"Iya, boleh," jawab Randi.

Setelah itu, pesan demi pesan mulai tiba dari Yura. Randi merasa gadis itu terlalu sering menghubunginya, bahkan setiap hari. Tidak hanya itu, Yura juga seringkali meminta bantuannya dengan berbagai alasan. "Kamu bisa jemput aku, Ran? Aku harus pergi les, motorku malah dipakai Kakak."

Randi yang saat itu baru saja selesai latihan sanggar lalu mengiyakan permintaannya. Barangkali cukup sekali itu ia membantu. Namun, Yura justru tidak hanya ingin sekali, seakan ingin terus bersama. Randi merasa apa yang sudah ia perbuat semakin serba salah.

[]

Rire menunggu kabar dari Randi. Randi berkata bahwa malam ini sedang latihan di sanggar, bahkan sejak sore tadi. Kadang-kadang terdengar keluhannya. "Tadi aku dimarah sama pelatih, hanya karena aku telat datang, padahal aku tadi lagi salat Isya di masjid."

Rire lalu menjawab, "Yang penting salat itu paling utama, Ran. Kalau udah salat, hati jadi tenang." Randi di sana mengiyakan, meski terdengar lesu atas apa yang ia hadapi.

Tiba satu hari berikutnya, Rire justru marah-marah tanpa alasan yang jelas. Barangkali ia yang merasa begitu kacau karena sedang datang bulan, tetapi justru Randi menjadi tempat pelampiasan.

Randi dengan begitu sabar menenangkannya. Rire tidak membalas pesannya setelah itu, lebih baik menenangkan diri dengan menyendiri lebih dulu.

[]

Randi mengurut pelipis, terpikirkan Rire. Benar bahwa perempuan sangat sulit dimengerti.

"Kenapa, Ran?" tanya Angga. Mereka sedang berada di kelas, menunggu pergantian jam pelajaran.

"Cewek mudah marah-marah itu kenapa, ya?"

"Kak Rire? Kalian berantem?" tebak Angga. Randi mengangguk. Angga berkata lagi, "dia udah bosan kali sama kamu?"

Randi melotot. "Hehehe, sori," ucap Angga.

"Aku sayang sama dia."

"Emangnya kamu betah dimarahin melulu?"

Randi diam. Benar, sudah sekian kali mereka bertengkar. Sebisa mungkin baginya untuk tidak menyerah.

"Lalu?" tanya Angga lagi. Karena tidak mendapat jawaban, Angga kemudian bercerita, "eh, Yura sering cerita tentang kamu, tuh. Kamu sering ketemu dia, kan?"

Randi diam lagi. Dalam pikirannya justru mulai membandingkan Yura dan Rire. Yura tidak pemarah seperti Rire. Yura baik padanya. Sejak mereka berteman, Randi pun yakin Yura seakan menyimpan perasaan padanya.

[]

April 2016

Randi dan Rire bertengkar lagi kesekian kalinya. Untuk sesaat, keduanya saling berdiam sejenak agar tidak ada amarah yang dilampiaskan. Tepat setelah itu, Yura justru mengakui perasaannya pada Randi via chat, padahal Randi sudah menyatakan bahwa ia memiliki pacar, tetapi Yura seakan memaksanya.

"Aku nggak percaya kamu punya pacar," kata Yura.

"Ada, aku punya pacar."

"Nggak percaya. Aku nggak pernah lihat kamu jalan bareng pacarmu."

"Dia nggak di sini, dia jauh."

"Nggak, aku masih belum percaya. Lagian kalau emang kamu punya pacar, kamu aja nggak pernah pasang fotonya di sosmed kamu, buat status tentang dia."

"Soal cinta nggak harus dipamerkan di sosmed, kan?" balas Randi, "mau kamu apa, sih?"

"Kamu nggak punya pacar, kan?"

"Aku udah bilang kalau aku punya pacar."

"Aku nggak percaya. Buktiin ke aku."

Randi diam. Rasanya ia kalah. Yura kembali menegaskan, "Aku suka sama kamu, Ran. Aku mau kita jadian."

Randi tidak menjawab. Ia lalu melihat kontak Rire, ingin sekali untuk meneleponnya, menanyakan kabarnya, seakan semua kembali seperti semula, tanpa ada pertengkaran, tanpa ada amarah.

Randi justru kembali pada kolom chat Yura. "Iya, kita jadian."

[]

Bismillah. Halo teman-teman. Setelah membaca bagian ini, rasanya gimana? Pengen banting-banting ponselnya? Hehehe, jangan, ponsel mahal. Banting bantal aja deh, ya.

Diselingkuhin, dikhianatin, dibohongin. Pernah mengalami itu, teman-teman?

Tapi tau nggak? Itu cara Allah menyelamatkan kita dari perbuatan yang salah. Memang sakit, tetapi itulah kenyataannya. Bukti kalau Allah justru sebenarnya sayang sama kita.

Lalu apa yang terjadi selanjutnya pada Randi dan Rire?

Salahku Menempatkan Cinta [TAMAT]Where stories live. Discover now