Bab 21: Suara Randi ✔

11 2 0
                                    

Satu tahun kemudian, Januari 2020

"Ran, Ran. Sini lihat. Rire udah wisuda. Dia kirim fotonya ke WA Ibu. Cantik, ya," ucap Ibu. Dapat kulihat raut wajah Ibu yang ikut bahagia. Saat aku melihat foto itu, Rire mengenakan toga sambil membawa map ijazah, di kanan dan kirinya berdiri orangtuanya. Mereka tersenyum lebar, sangat mirip.

"Alhamdulillah, Bu. Selesai juga dia kuliah."

"Ibu kirimkan fotonya ke kamu, ya."

Aku menolak, tentu saja aku takut terjadi fitnah bila aku menyimpan fotonya. Namun, Ibu tetap saja mengirimkannya. Nanti kuhapus lagi foto itu.

"Ran, kapan kamu seriusin dia?" tanya Ibu tiba-tiba, terdengar seperti bercanda, tetapi juga serius. Aku hanya tersipu, bingung hendak menjawab apa. Bapak lalu menyahut, "Kalau udah siap, bilang sama Bapak, ya."

Aku tersenyum. Mereka seringkali membahas tentang Rire, tentang bagaimana sikap baik gadis itu selama ini. Meski sudah tidak ada hubungan apa-apa antara aku dengan dia, tetapi dia tetap menjalin hubungan baik dengan keluargaku.

[]

April 2020

Nasib baik seakan berpihak pada Ibu, kadang-kadang Ibu berjumpa dengan Rire, saat sedang di jalan atau di tempat tertentu. Seperti hari itu, Ibu hendak berbelanja menemani Arkan. Keduanya berjalan kaki menuju minimarket, lalu seorang gadis yang sedang menggunakan motor memanggilnya, bahkan menghentikan motornya tepat di dekat Ibu. Gadis itu membuka masker yang ia kenakan dan membuka helm. Ibu tentu terkejut dengan kehadirannya.

"Dia turun dari motornya. Dia salamin Ibu, peluk Ibu," kata Ibu saat bercerita. Aku, Bapak, dan Tisa sama-sama mendengarkan. Arkan yang baru kelas dua SD bertanya dengan polosnya, "Memangnya Kakak tadi siapa, Nek?" tanyanya pada Ibu.

Ibu menjawab, "Bukan Kakak, Arkan. Tapi Bibi, Bibi Rire." Aku tersenyum mendengarnya. Bila suatu saat Rire menjadi Bibi untuk Arkan, tentu saja aku mau. Dengan kata lain, istriku. Iya, itu maksudku. Setiap kata adalah doa, aamiin.

Bukan sekali waktu aku berdoa agar bisa bertemu lagi dengannya, hampir di setiap doaku. Aku yakin suatu hari kami akan bertemu lagi.

[]

Usai salat Magrib, aku mengambil ponsel Ibu, ingin kulihat barangkali Rire memasang status WhatsApp di sana. Benar saja, ada sebuah foto tentang Islam di statusnya. Jemariku mulai mengetik tiap-tiap huruf di layar, kuingin menyampaikan sesuatu padanya. "Assalamu'alaikum. Apa kabar? Lama tidak bersua. Jangan dibalas, ini aku, pinjam hp Ibu. Tadi aku lihat story kamu, makanya aku mampir sebentar. Kamu sehat terus, ya."

Setelah pesan terkirim, ingin sekali rasanya untuk menghapus, tetapi kuurungkan, biarlah ia membacanya. Meski di pesan tadi aku memintanya untuk tidak membalas, tebersit inginku agar ia mau membalasnya. Nyatanya sama, ia hanya membacanya saja.

Aku kembali berhusnuzan pada Allah. Barangkali memang belum waktunya aku bicara padanya. Setidaknya setelah empat tahun terakhir, aku sudah berani menyapanya lebih dulu.

[]

Mei 2020

Tepat di bulan Ramadan, bulan ini juga merupakan ulang tahunku yang ke-22. Rire terus ada dalam ingatanku sampai sekarang, seakan enggan untuk benar-benar pergi. Aku bahkan ingin dia tetap ada, di ruang tersendiri dalam hati dan pikiranku.

Salahku Menempatkan Cinta [TAMAT]Where stories live. Discover now