Bab 22: Suara Rire ✔

10 1 0
                                    

April 2020

Ketika mendapati pesan WhatsApp dari Ibu, aku sangat senang. Pasti ia menanyakan kabarku, mendoakanku semoga sukses, itu yang sering ia lakukan. Namun, ketika kubaca pesan itu, aku salah. Itu bukanlah Ibu. "Ini aku", maka aku tahu itu Randi.

Aku tidak membalas pesan itu sesuai permintaannya. Aku hanya membacanya berulang kali, merasa tidak menyangka akan mendapat pesan darinya. Aku hanya melisankan sendiri, "Wa'alaikumussalam. Aamiin, makasih doanya," kataku, kemudian pesan itu kuhapus.

Kali itu aku merasa belum sembuh dari patah hati, masih kurasakan kecewa.

[]

Mei 2020

Selama bulan Ramadan, aku mematikan ponselku, belajar agar lebih fokus beribadah. Aku ingat bulan Mei adalah ulang tahun Randi. Entah mengapa sejak menerima pesannya, aku merasa berbeda.

Aku memilih mengusaikan rasa kecewaku, menggantinya dengan perasaan damai. Aku menulis di laptopku malam itu, saat menginap di rumah Aya. Benar-benar kutuliskan semua perasaanku. Setiap memori terulang di kepala, sebanyak itu pula aku menuliskan tentangnya.

Lalu, sebuah kata kutuliskan di sana, tebersit inginku berteman dengannya. Berdamai dengan masa lalu, menerima semua yang sudah terjadi.

Di esok harinya, kuat keputusanku untuk menuliskan novel tentangnya, tentang kami berdua. Perjalanan sejak kami bertemu, berpisah, kemudian bertemu kembali. Poin terakhir sengaja aku buat demikian karena keyakinanku bisa bertemu lagi dengannya suatu saat. Berhari-hari kugunakan waktuku untuk menuliskan novel itu.

"Re, nulis apa?" tanya Mama sewaktu ia masuk ke kamarku. Aku menjawab bahwa aku menulis novel. Aku malu bila harus mengatakan novel apa yang kutulis itu, apalagi tentang aku. Untuk itu aku tidak memberitahu.

Saat menulis novel itu, aku juga berniat akan menghubungi Randi bila bulan Ramadan usai, tepat di malam takbiran. Semoga Allah meridai niat baikku ini. Aku hanya ingin dia merasa tenang, barangkali ia terus saja merasa menyesal, meski sudah bertahun-tahun kejadian itu terlewati. Begitu pun aku, aku tidak ingin lagi membencinya. Bagiku berdamai adalah lebih baik.

Maka benar Allah menghendaki niatku. Di malam takbiran, aku mengirimkan pesan WhatsApp padanya. Hanya berselang lima menit ia membalas, kemudian obrolan kami terjadi begitu panjang. Sangat panjang. Kukira cerita-cerita yang ada bahkan masih belum tersampaikan semuanya.

Kuberitahu padanya tentang novelku, bahkan kukirimkan sedikit penggalan pada beberapa bab. Ia tertawa, merasa nostalgia, katanya. Kukatakan padanya, saat novel itu selesai pasti akan kuberikan untuknya. Ia setuju itu, meski aku tahu ia tidak suka membaca, tetapi ia selalu senang dengan apa yang kulakukan, termasuk tulisan-tulisanku itu. Aku bahagia ketika ia mengizinkanku mengirim novel itu ke penerbit. Ia selalu mendukungku, sama seperti dulu.

Lalu akhirnya kami berpisah. Jujur air mataku jatuh kala itu, selesai lagi sekian kalinya. Aku merasa haru, betapa Allah hendak menjaga kami berdua. Aku tahu tidak sepantasnya aku melakukan obrolan-obrolan yang tidak sesuai syar'i pada yang bukan mahramku. Inilah yang terbaik, menjaga batasan, menjaga kehormatan. Aku bersyukur Allah masih memberi petunjuk.

Kuingat sewaktu ia hendak memberikan lokasi alamat rumah barunya di awal kami berbalas pesan. Namun, karena perpisahan kami ini membuatnya belum sempat menyampaikan itu. Kadang-kadang aku merasa begitu penasaran, tetapi aku sadar, aku tidak akan bisa mencari tahu. Kalaupun aku tahu, aku sama sekali belum siap berkunjung ke sana menemuinya.

[]

Juni 2020

Allah benar-benar Maha Luas. Berbagai kebaikan kudapatkan setelah itu.

Sekian bulan setelah wisuda, aku belum juga mendapat pekerjaan. Kulangitkan doaku dengan Tahajud. Benar kemudian Allah memberikan aku pekerjaan yang insya Allah diberkahi. Aku mengajari anak-anak mengaji Iqra dan Alquran, dengan berkunjung dari rumah ke rumah. Aku bersyukur Allah menetapkan ini padaku, sesuai doaku kala itu bahwa aku ingin pekerjaan yang Allah ridai sebagai ibadah pada-Nya, maka inilah tugasku. Semoga menjadi amal jariyah untukku, juga sebagai wasilah penggugur dosa-dosaku di masa lalu.

Lalu sebuah penerbit besar mengadakan lomba menulis. Ini adalah kehendak Allah yang juga terbaik. Dengan basmalah, aku mengirimkan naskah novelku. Kuniatkan menulis karena Allah, untuk berdakwah lewat tulisan. Setiap hari kutuliskan agar bisa selesai secepatnya. Dengan begitu, aku bisa segera memberikannya pada Randi, sesuai janjiku.

[]

Juli 2020

Tiba hari itu aku berbalas pesan dengan Kak Tisa. Aku kemudian teringat tentang hal yang sangat ingin kutanyakan, yakni alamat rumah mereka. Kak Tisa lalu memberitahuku.

Aku tersenyum, rasa penasaranku terbayarkan, meski aku sendiri tidak punya keberanian untuk berkunjung ke sana. Kelak Allah yang tahu kapan aku siap untuk bertemu lagi.

[]

Aku masih mengerjakan novel ini, sudah terhitung dua bulan sejak bulan Mei. Kupastikan hanya tersisa bab terakhir sebelum benar-benar tamat. Aku tahu skenario Allah lebih indah dibanding skenarioku sendiri, tetapi aku ingin menuliskannya sebagai doa yang terbaik.

"Re, tidur sekarang. Udah nulisnya. Udah mau jam 12 ini," kata mamaku saat ia membuka pintu kamar dan melihatku yang masih saja menulis. Menulis novel ini seringkali membuatku tidur larut. Aku senang menjalaninya, meski begitu aku bersyukur Allah menghendaki untukku bisa menunaikan salat Tahajud di sepertiga malam terakhir, sebelum masuk waktu Subuh.

Di panjangnya tiap-tiap doaku, kuselipkan nama Randi di sana. "Bila dia baik untukku, bila aku baik untuknya, pasti Allah akan menjadikan kami dalam ikatan yang halal. Bila bukan dia, maka Allah sudah mempersiapkan yang terbaik."

Aku percaya bahwa urusan hati adalah kuasa Allah. Hanya Dia yang mengetahui yang terbaik untuk hamba-Nya.

Melangitkan doa, membumikan ikhtiar. Tidak ada yang sia-sia bila sudah berserah pada-Nya.

Kupastikan novel ini selesai sebelum hari ulang tahunku, insya Allah. Semoga Allah menghendaki itu.

[]

Salahku Menempatkan Cinta [TAMAT]Where stories live. Discover now