Bab 24: Bukan Pesan Terakhir ✔

14 1 0
                                    

Agustus 2020

Rire menelepon Runia malam itu, memberi kabar bahwa esok ia akan berangkat ke kota perantauannya dahulu untuk melanjutkan studi S2. Runia memberikan doa terbaik padanya, sebagaimana yang sering wanita itu lakukan. "Hati-hati di jalan ya, Re. Kapan-kapan kabari Ibu lagi. Kami di sini nungguin kabar baikmu. Sehat selalu, ya."

Rire merasa begitu sayang dengan wanita itu, selalu saja membuatnya begitu disayangi. Usai menelepon, ia kembali mengemas barang-barang yang akan ia bawa. Perjalanan dengan menggunakan mobil menjadi pilihannya manakala pandemi menyebabkan pesawat terbang meniadakan jadwal penerbangan.

[]

Randi berusaha menyelesaikan skripsinya. Layar laptop di hadapannya menampilkan isi Bab Tiga, sedikit revisi di bagian sana setelah mendapat saran perbaikan oleh dosen pembimbingnya. Ia yakin Allah memberikan kemudahan di balik kesulitan. Ia bertekat menyelesaikan studinya tahun ini.

Randi keluar dari kamar, sekilas mendengar ibunya yang baru saja selesai menelepon. Ibunya lalu berkata, "Ran, besok Rire berangkat. Kamu udah tahu?"

Ia tahu Rire akan kuliah lagi. Namun, ia tidak tahu bahwa Rire akan berangkat esok hari. Itu kabar yang cukup tiba-tiba. Ada perasaan seperti dulu yang menyelip ke dalam hati, teringat pertama kali Rire berangkat untuk kuliah hingga berpisah dengannya.

Ia masuk kembali ke dalam kamar, lalu membuka diari mereka, diari yang ia simpan bertahun-tahun lamanya. Malam itu, ia berkeinginan memberikannya pada Rire, sekaligus mengembalikan flashdisk miliknya.

Setelah bersiap, ia pamit pada orangtuanya, "Bu, Pak. Randi pergi sebentar."

"Rumah Farid?" tanya mereka. Randi tersenyum, mereka mengiranya hendak mengerjakan tugas kuliah. Ia pun menjawab akan menemui Rire. Bapak dan ibunya tidak menyangka akan jawaban Randi. Tisa yang mendengar ucapan Randi bahkan berteriak, "Alhamdulillah!" Randi tersipu dibuatnya.

"Salam buat Rire, ya," ucap Runia.

Randi pun berangkat, memacu motor perlahan sambil terus berzikir. Allah yang menuntunnya ke sana, bukan semata-mata kemauannya sendiri.

[]

Terjadi persis seperti pada masa itu, masa di mana Randi memberikan boneka kelinci pada Rire. Randi duduk di motor, di dekat pagar rumah, sedang Rire berdiri di depannya. Bedanya kali ini dengan cukup jarak. Keduanya tampak canggung hendak bicara. Ia sesekali menunduk, Rire pun sama. "Afwan, aku tiba-tiba datang," ucap Randi kaku.

Rire mengangguk dan tersenyum. Randi kembali bicara, "Karena kamu kemarin bingung buat heading-nya, alhamdulillah, udah kubuatkan. Ini kukembalikan flashdisk kamu. Maaf, baru kukembalikan sekarang."

Rire mengangguk. Benar, ia ingat janji Randi saat mereka berkirim pesan WhatsApp. Randi kala itu menyarankan padanya untuk membuat heading di novelnya agar mudah saat membaca isi bagian, tetapi Rire justru bingung membuatnya. Untuk itu, Randi yang berniat membantu bila novel itu sudah ada padanya. "Makasih, Ran," balas Rire.

"Sama-sama. Sekarang giliran aku mau kasih kamu sesuatu." Randi lalu mengambil sebuah kantung biru di setang motornya. Rire pun menerimanya, ia tahu itu adalah diari mereka. Kantungnya bahkan masih sama seperti dulu saat Rire memberikannya pada Randi.

"Hati-hati berangkat besok. Insya Allah kamu dimudahkan kuliahnya. Doain juga aku bisa selesai kuliah tahun ini."

"Aamiin, insya Allah."

"Kira-kira selesainya kapan?"

"Hm, kurang lebih dua tahun."

"Oke."

Salahku Menempatkan Cinta [TAMAT]Where stories live. Discover now