🐌 X 🐌

13 5 4
                                    

Jangan lupa bahagia! :)

🐣🐣🐣

Mengawali hari di senin pagi. Kedua saudara ini telah siap memulai hari. Usai sarapan roti tawar yang dibaluri selai favorit mereka masing-masing, baik Tita maupun Cia berlari cepat menuju garasi. Mengambil mobil secepat kilat, kemudian pergi ke tempat tujuan masing-masing.

Namun, rencana itu tak berjalan mulus. Baru saja Cia membuka pintu, seseorang datang tanpa diundang. Mau mengusir pun tidak enak.

"Pagi," ucapnya terlihat agak gugup. Tidak biasanya tangan laki-laki itu bersimpul di depan.

Tita terdiam, ia menatap Cia dengan tatapan tanda tanya. "Lo berangakat sama dia?"

Cia menggeleng cepat. "Eh, engg--enggak kok, Teh. Lagian, lo ngapain di sini?"

Sementara sang tamu sedang berpikir mengenai apa tujuannya datang ke rumah itu sepagi ini, sebuah suara melengking hebat dari dalam rumah.

"Cepat berangkat, nanti kalian kesiangan!" Itu ibu Tita.

"Sebenernya, gue juga bingung kenapa gue datang ke sini. Mungkin karena udah kebiasaan tiap hari jemput lo, jadi sekarang gue di sini."

Cia tertegun, ia menggaruk puncak kepalanya yang tidak gatal. Lalu menoleh ke arah Tita seperti memberi pertanyaan. Karena rasa penasaran akibat kedua putrinya tak kunjung berangkat, Wulan mendekat dan melihat sendiri apa penyebab penghalang mereka pergi.

"Kenapa belum berangkat?" tanya Wulan yang belum menyadari kehadiran Bagus di sana.

"Hai, Tante," sapa lelaki itu seperti sudah sangat akrab.

Wulan berbalik badan, senyumnya seketika merekah mendapati Bagus yang juga tak kalah menampilkan senyum bahagia.

"Eh, calon mantu dateng. Mau jemput Cia, ya?"

"Ih, Tant--"

"Sssttt ... cepat berangkat, nanti telat loh. Kamu sama Bagus aja Cia, kasian dia udah jauh-jauh jemput," titah Wulan sementara Tita di belakangnya mati-matian menahan tawa. Pasalnya, Cia jelas sekali tidak suka dengan drama seperti ini di pagi hari.

"Lagian, Cia enggak suruh siput sawah ini jemput, Tante."

🐣🐣🐣

Drama yang terjadi di rumah Tita tadi belum lah usai. Sejak kedatangannya dengan Bagus ke sekolah, semua pasang mata memerhatikan mereka dengan detail. Seperti tak membiarkan sepersekian detik pun yang terlewat untuk tidak melihat mereka.

"Lo bisa jauhan, gak? Risih gue, dikira pacaran nanti," omel Cia, pandangannya lurus ke depan tak ingin tengok kanan kiri karena banyak mangsa yang tak kasat mata terus menjadi mata-mata.

"Pacaran beneran aja sekalian. Lagian, abang lo udah setuju, teteh udah, om tante juga udah," sahut Bagus asal. Mulutnya begitu saja melancarkan ucapan tak enak didengar oleh telinga Cia.

"What? Apa lo bilang, pacaran? Enggak! Gue enggak akan pernah pacaran, titik. Inget kata-kata gue."

Cia berjalan lebih cepat, meninggalkan Bagus seorang diri di tengah lapangan yang sedang mereka lalui untuk sampai ke kelas tadi. Para penonton pun samar-samar terdengar sorak sorainya, merasa kecewa karena sang putri pergi meninggalkan pangerannya.

Bintik HitamOnde histórias criam vida. Descubra agora