🐌 XII 🐌

14 5 1
                                    

Tempat ternyaman memang di pelukan ibu. Namun, tempat teraman adalah di pelukan ayah.

🐣🐣🐣

"Teh, di mana, ya busnya?"

Dari ujung ke ujung yang mereka berdua lihat hanyalah sekumpulan orang yang menenteng tas atau bahkan kardus-kardus di atas kepala. Beberapa pedagang asongan yang naik turun bus sembari berteriak juga mengisi ramainya terminal. Semua orang tampak sama, seolah tak ada pembeda antara orang satu dengan orang yang lainnya.

"Mungkin bus yang sebentar lagi, Ci," balas Tita. Gadis itu juga tampak sudah sangat lelah, hampir malam dan mereka belum juga berjumpa ibu Cia.

Sekali lagi Cia kembali menelungkupkan wajahnya di atas meja kantin terminal. Tak peduli orang-orang yang memerhatikannya heran. Beberapa botol minuman teh telah habis ditenggak Cia. Namun, yang ditunggu tak kunjung menyembulkan batang hidungnya.

"Ci, hp lo getar tuh."

Cia terperenjat, matanya membuka sempurna. Ponselnya memang tak diberi nada dering, hanya getar saja. "Siapa?" tanya Cia pada ponselnya sendiri sedang Tita mengendikkan bahunya tak tahu.

"Nomor gak dikenal," ucap Cia masih menatap layar ponsel. Ia ragu, hendak menjawab atau tidak.

"Hati-hati." Tita memerhatikan Cia yang berjalan sedikit menjauh saat ia menerima panggilan telepon itu.

Beberapa menit kemudian, binar mata Cia terlihat jelas. Ia tampak sangat bahagia berbeda sebelum ia mengangkat telepon itu.

"Kenapa lo? Abis dapat giveaway Iphone 11?" tanya Tita sangat heran melihat tingkah Cia sangat aneh.

"Lebih dari sekadar giveaway, Teh! Ayo ikutin Cia!" Cia menggaet tangan Tita dan seketika Tita bangkit dari duduknya.

Nih anak jangan sampai kesambet setan stasiun! Bahaya!

Tita membuntut di belakang Cia. Entah mau ke mana langkah gadis itu pergi, Tita tak bertanya. Ia yakin kalau Cia sedang menuju ke mana ibunya berada.

"Ibu!" seru Cia saat melihat seorang wanita paruh baya dengan hijab ungu tua berdiri tepat di depannya. Ia bersama lelaki yang usianya diperkirakan sama dengan usia ibunya saat ini. Walau Cia melihat hanya dari belakang tubuh ibunya saja, tapi Cia hapal kalau itu adalah ibunya.

Dara--ibu Cia itu berbalik badan merasa ada yang memanggilnya dengan suara yang sangat ia rindukan. Cia menghampiri ibunya, perasaannya tak dapat diungkapkan lagi. Rindu, itulah satu-satunya ekspresi yang tergambarkan di raut wajahnya.

Lelaki yang bersama ibunya itu langsung pergi begitu melihat wajah Cia. Mungkin ia melihat Cia dengan jelas, namun tidak dengan Cia. Pasalnya, lelaki itu mengenakan masker juga kacamata hitam. Cia tak peduli, ia memeluk erat Dara sampai beberapa menit enggan untuk dilepas.

"Aaa ... Ibu, Cia kangen!"

Tita memerhatikan interaksi ibu dan anak itu dengan haru. Sampai ia teringat dengan Wulan di rumah. Tantenya Tita itu tak berubah dari dulu. Tetap cantik dan awet muda.

"Tante makin cantik, sih," goda Tita saat mereka berdua cepaka-cepiki cantik.

🐣🐣🐣

Bandara nampak ramai dipenuhi orang. Beberapa petugas kebersihan beberapa kali menyapu lantai bandara itu. Tak boleh setitik debu mampir di lantai, itulah seharusnya tugas mereka.

Lelaki itu berkali-kali berdecak kesal. Ia malas jika disuruh menunggu tanpa kepastian. Jarum jam di pergelangan tangannya sudah berputar berkali-kali. Ia dibuat tambah kesal karena berkali-kali pula Bara menelepon. Memintanya cepat pulang. Kalau urusan gue di sini udah kelar, tanpa diperintah pun gue udah cabut dari sini!

Memangnya, kenapa tidak Bara saja yang ke bandara dan menjemput seseorang di sini? Atau kalau tidak, Bagas saja. Dia kan sering antar jemput orang. Kenapa harus dirinya? Seorang Bagus yang malas menunggu.

"Lima menit gak dateng-dateng, gue tinggal pulang. Bodo amat gue dimarahi ayah!" dumalnya menahan kesal.

Tak sampai lima menit, pemberitahuan itu terdengar di telinga Bagus. Pemberitahuan adanya pesawat yang akan mendarat membuat Bagus berbinar senang. Ia langsung menghampiri tempat menunggu yang sudah dikerumuni banyak orang dengan tangan yang memegang papan nama. Hal tersebut juga dilakukan Bagus.

Sial! Gue kayak orang bodoh. Mau aja disuruh beginian!

Kaki jenjang seorang gadis menapaki tiap-tiap lantai bandara. Entah sudah berapa tahun sejak ia menghirup udara di tanah kelahirannya. Senyumnya mengembang sempurna. Gayanya yang kekinian dengan rambut tergerai panjang. Tangan kanannya memegang tas kecil dan tangan kirinya menyeret koper merah muda dengan ukuran besar. Kali ini ia takkan pergi lagi dari sini. Tidak akan pernah.

Matanya mencari-cari papan nama yang tertuliskan namanya. Hingga berhenti pada nama yang bertuliskan dirinya. Segera saja ia melangkah mendekat.

"Hai?" sapanya pada seorang lelaki sepantarannya.

"Elena?" tanya Bagus bingung. Mimik wajahnya sangat lugu sampai tak bisa membedakan antara ia sedang bingung atau ingin buang air.

"Yes, i'm Elena Barafada. And ... you?"

Bagus tertegun, menatap gadis cantik di hadapannya. Sampai Elena mengibas-ngibas tangannya tepat di hadapan Bagus. "Hello?"

"Eh, gue Bagus Barafada," ucapnya dengan cepat. Sejujurnya, ia kesal menyebutkan nama akhirnya yang terdapat nama Barafada di sana. Barafada artinya adalah Bara, ayah Bagus.

Elena membuka mulutnya lebar, tak percaya dengan apa yang dilihatnya. "Oh my god! Bagus, adik gue!" serunya seketika memeluk Bagus.

🐣🐣🐣

Keheningan malam yang dihiasi alunan musik dari radio mobil Bagus terdengar di telinga kedua manusia kakak beradik itu. Raut wajah bete dari Bagus masih terlihat sejak tadi, sedangkan Elena yang kini berhenti mengoceh karena tak ditanggapi Bagus.

"Sejak kapan sih lo jadi sok cool gini?" tanya Elena sekali lagi tak digubris. Bagus hanya menghela napas kasar mendengar ocehan yang tak berguna baginya.

"Gimana kabar ayah? Gue kangen ayah ...."

Ucapan terakhir Elena membuat Bagus tidak fokus menyetir. Ia memerhatikan kakaknya yang sudah terlelap setelah menanyai kabar ayahnya. Bagus tersentak, menyadarkan kembali pikirannya dan mengingat kalau ia sedang menyetir.

"Lo emang kembaran gue, Lena. Tapi kayaknya pemikiran kita beda tentang ayah. Yah, gue harap tetap begini. Gue enggak mau lo benci juga sama ayah seperti gue benci ke ayah. Pemikiran kita harus tetap seperti ini. Seperti kekembaran kita yang enggak seiras, kita juga harus memiliki pemikiran yang gak seiras," ucap Bagus pelan sesekali menoleh ke arah Elena.

Sekali lagi, fokus Bagus teralihkan dengan benda pipih yang berdering. Menampilkan nama ayah Bara di ponsel Elena. Bagus berdecak kesal.

🐣🐣🐣

28 September 2020

Hai teman-teman, terus dukung cerita-ceritaku yaa... agar aku bisa bangkit lagi untuk semangat menulis setelah 4 bulan libur nulis :") SHARE KE TEMAN-TEMAN KALIAN JUGA YA, DAN JANGAN LUPA BACA CERITAKU YANG JERAWAT. SEE YOU NEXT TIME, MUACH! 😙😙

Bintik HitamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang