🐌 XI 🐌

8 4 0
                                    

Sesuatu yang baik menurut pribadi, belum tentu baik menurut sang pencipta

🐣🐣🐣

"Gus, lo dipanggil ayah di ruangannya."

172 cm tingginya. Telinganya mendengar jelas apa yang kakaknya katakan padanya. Awalnya pandangannya fokus mengarah pada buku Sejarah Pergerakan Nasional dari Budi Utomo sampai Proklamasj 1908-1945 yang ditulis oleh Dr. Suhartono. Ditemani jus jeruk favoritnya dan semilir angin di balkon kamarnya menjadi sentuhan terakhir yang tak bisa dilewati.

Matanya menajam kala suara itu pertama kali terdengar. Membacanya pun tak lagi fokus.

"Buat apa gue ke sana?" tanya Bagus ketus tanpa berniat membalikkan tubuhnya.

Sedang Bagas yang hendak pergi, ia urungkan untuk menjawab pertanyaan Bagus terlebih dahulu. "Gue juga enggak tau. Tapi kayaknya penting," sahutnya lalu pergi begitu saja.

"Ck!" Sebuah smirk tercipta di sudut bibirnya.

Kepulan asap putih melayang-layang di udara. Bagus benci setiap kali lelaki paruh baya itu bermain-main dengan tembakau bakarnya. Sudah sangat sering dia katakan kalau jangan pernah merokok di dalam rumah. Ck! Siapa Bagus, yang hanya menumpang tinggal di rumah itu sedangkan rumah itu adalah milik orang tuanya.

"Aku dengar, Ayah memanggilku? Tapi sebelum Ayah bicara, musnahkan dulu tembakau bakar itu!"

Setelan jas hitam serta pantofel yang mengilat masih melekat di tubuhnya. Ia mematikan bakaran tembakaunya, lalu berbalik badan.

"Ayah harap kau hanya membenci tembakauku bukan membenciku," ucapnya sebagai awalan. Bara tersenyum pada putranya, namun tidak dengan Bagus. Lelaki itu rasanya tidak ingin berlama-lama berada di tempat itu.

"Ibumu besok datang."

Hampir saja copot dari posisinya. Mata bagus melotot sempurna. Apa yang dimaksudkannya? Bukankah, ibu sudah meninggal?

Bagus menatap ayahnya, meminta penjelasan atas ucapannya. "Jemput dia di bandara jam empat sore," lanjutnya lalu Bara mempersilakan Bagus pergi tanpa diizinkan bertanya lebih jelas.

Sedang orang yang sedari tadi mengintip di balik pintu, keringat dingin telah menjalari setiap sudut tubuhnya. Ia takut rahasianya akan terungkap. Jika itu terjadi, Bagus pasti akan membencinya.

🐣🐣🐣

Lengkungan senyumnya seakan tidak pernah pudar di wajah cantiknya. Gadis itu terus saja mondar-mandir membayangkan sesuatu. Hal paling membahagiakan akan hadir sebentar lagi.

"Besok ke stasiun jam berapa?"

Tita memasuki kamarnya yang kini dihuni oleh dirinya dan Cia. Kamar bersejarah yang dulunya ada Vie dan Tita.

"Jam empat sore kata ibu, Teh. Teteh temenin aku, kan?" tanya Cia dengan binaran di matanya.

Tita mengangguk. Meletakkan tasnya dan menyampir handuk lalu pergi ke kamar mandi. Kegiatan kampusnya sangat menguras tenaganya, ia lelah.

"Oh iya, Tante. Vidie sampai lusa di Bandung. Nanti balik lagi buat selesaikan tugas di sana. Setelah Tita lulus kita baru bicarakan tentang semuanya, ya, Tante."

Telinga Cia masih tajam. Ia mendengar suara lelaki sedang bicara dengan Wulan. Lantas, langsung saja kaki lincahnya menghampiri lelaki itu.

Bintik HitamWhere stories live. Discover now