🐌 XXIV 🐌

6 3 0
                                    

Jika ada orang lain yang pantas disalahkan, kenapa peluru selalu salah sasaran kepadaku?

🐣🐣🐣

"Maksud lo apa penjarain ayah gue, hah?!" seru Bagus membuat semua mata seketika tertuju pada Cia.

Cia mentap Bagus lama, ia belum menjawab pertanyaan lelaki itu. Kemudian melihat Vie dan Tita satu persatu secara bergantian.

"In--ini kenapa sih, Gus? Kok--kok lo marah-marah gini sama gue?"

Bagus membuang mukanya, seringai tajam terbit dari wajahnya. "Lo gak usah sok polos deh! Kalau lo laki-laki, udah gue hajar sekarang juga! Gak usah banyak basa-basi, gue tau otak lo itu busuk! Jawab pertanyaan gue, kenapa lo penjarain ayah gue?"

Bagus menyusul Cia ke stasiun. Setelah dua polisi yang mendatangi rumahnya itu berhasil membawa pergi ayahnya, ia langsung pergi mencari Cia.

"Anak dari ibu Dara sendiri, Cassanova Ikesulistiawati Amandikari."

Tak lama, Bara datang bersama Bagas. Keduanya berjalan gagah dengan setelah jas berwarna sama. Mungkin, keduanya usai menghadiri rapat dan pulang secepat ini.

"Ini ada apa, ya? Kenapa pak polisi ada di sini?" tanya Bara menyapa kedua tamunya dengan senyum.

"Kami mencari orang yang bernama Bara, Pak. Apakah kami bisa menemuinya?"

Bara melihat ke arah Elena yang sudah menangis. Putrinya itu nenggeleng lemah, ia sedang memberikan sebuah kode kepada ayahnya.

"Iya, saya sendiri. Ada apa, ya, Pak?"

"Kalau begitu, Bapak kami tangkap. Silakan beri penjelasan di kantor polisi saja."

Ayah Bagus pun ikut saja dengan polisi tersebut. Ia sama sekali tidak memberontak karena tidak merasa telah melakukan kesalahan. Elena pun sudah berusaha menahan sang ayah, namun ia akhirnya kalah juga.

Bagus yang sejak tadi diam, menatap Bagas tajam. "Kenapa lo diam aja, Bang?! Lo emang mau ayah ditangkap, hah?!" hardik Bagus meluapkan semua emosinya.

Bagas yang sejak tadi diam, tak berkutik dengan apa yang disaksikannya tadi.

"Gue tau, Bang. Lo itu tau semuanya, tau tapi lo enggak pernah kasih tau ke kita! Lo mau jadi anak kebanggaan ayah seorang diri, hah?!" Bagus maju satu langkah, berniat menghajar Bagas saat itu juga. Namun, aksinya ditahan Elena yang berlinang air mata membuat Bagus menghentikan semuanya.

Bagus pun mengalah, sekali lagi ia menatap tajam Bagas kemudian melangkah pergi.

"Gue emang tau semuanya! Semua yang baru lo tau, gue udah tau lama. Gue biarin lo cari tau sendiri, karena gue pun juga begitu. Lo pikir, gue enggak marah saat itu?"

Bagus menghentikan langkahnya, badanya masih enggan memutar dan melihat dua saudaranya.

"Gue marah sama ayah, Gus! Gue benci ayah pada saat itu. Tapi apa? Gue gak bisa menyangkal kalau dia itu ayah gue sendiri yang harus gue hormati seburuk apa pun tingkah dan sikapnya. Gue juga tau Cia laporin ayah ke polisi. Gue ada sama dia di saat ia melapor. Gue biarin dia laporin ayah, karena cuma dia yang bisa melakukannya di saat gue hanya jadi pengecut yang terus diam!"

"Cassanova Ikesulistiawati Amandikari. Itu nama lo, kan?" tanya Bagus yang masih mengingat jelas nama lengkap Cia.

Prok! Prok! Prok!

Bagus menepuk tangan nyaring, membuat semua yang ada merasa heran. "Bagus lo. Umur baru mau tujuh belas tahun aja udah berani main ke kantor polisi. Gue tau ayah gue emang salah, Ci! Tapi kenapa lo setega itu? Bang Bagas udah cerita semua ke gue, kalau lo yang lapor sendiri ayah gue ke polisi. Lo mau minta keadilan, kan? Kenapa lo gak marah juga sama gue, hah? Kenapa?!"

Sedari tadi, Cia terus saja menatap Bagus tanpa henti. Ia melihat semua tingkah Bagus yang sedang berusaha meluapkan apa yang dia rasakan.

"Udah? Udah selesai lo ngomongnya? Kalau udah, gantian gue yang ngomong kalau gitu. Haha ... iya, lo benar. Gue emang cari keadilan. Buat siapa, buat gue! Buat ibu gue! Buat masa depan gue, Gus. Lo mungkin udah gak punya ibu, tapi gue udah gak punya ayah! Ibu lo meninggal bukan karena kesalahan gue, tapi ayah gue meninggal karena kesalahan ayah lo, Gus! Ayah gue meninggal dan ibu lo meninggal itu semua salah siapa? Salah ayah lo ... itu semua salah ayah lo ... kenapa lo marah-marah sama gue, Gus, kenapa?"

Cia lagi-lagi berhasil meloloskan butiran air matanya. Bagus yang berada tepat di hadapan Cia segera mendekat, dan memeluk Cia erat. Ia tak tahu, emosinya terkalahkan dengan tangis Cia. Ia tak seegois itu, lagipula, Bagus juga merasa kalau Cia tidaklah bersalah.

Beberapa detik kemudian, Cia menarik tubuhnya kembali menjauh dari Bagus.

"Tapi enggak, Gus. Gue enggak mau dikasihani. Bukan, bukan salah ayah lo di sini, tapi salah gue, Gus ... iya, ini salah gue. Harusnya dulu ibu gue gak menikah dengan ayah gue dan melahirkan gue. Harusnya dulu ibu bisa perjuangin ayah lo, Gus ... iya, ini semua salah gue, kenapa gue ada di dunia ini ...."

Vie dan Tita berusaha menenangkan Cia sebisa mungkin. Mereka berdua tetap mendukung Cia apa pun yang terjadi. Mereka yakin, adik kesayangannya ini sangat tau apa yang ia lakukan dan apa akibat yang akan ditanggungnya.

Bagus masih diam di tempat, tak berkutik untuk memberikan pembelaan lagi pada ayahnya. Begitu pun Elena.

"Lagipula, abang lo sendiri yang bilang. Orang yang melakukan kejahatan harus dihukum, Gus. Sekarang kasih tau sama gue, kenapa gue harus diam sedangkan gue harus mendapatkan keadilan. Gue emang salah, Gus ...." Cia mengatupkan kedua telapak tangannya di depan Bagus dan berkata, "tolong maafin gue kalau lo bisa. Permisi ...." Cia melanjutkan jalannya yang sempat terhenti dan masuk ke mobil diikuti Vie dan Tita.

"Argh! Gue sama sekali gak guna!" ucap Bagus frustasi.

🐣🐣🐣

Di dalam mobil, Tita yang menyetir dan kedua sepupunya duduk di belakang. Vie yang terus berusaha menenangkan Cia, gadis itu belum juga berhanti menangis.

"Teh, tolong masalah ini jangan sampai ibu Cia tau, ya," ucap Cia memohon sembari melihat Vie dan Tita satu persatu.

🐣🐣🐣

18 - 19 Oktober 2020

Bintik HitamWhere stories live. Discover now