Ceva 06

2.8K 581 75
                                    

Malam ini, saya sesungguhnya menyayangkan adanya interview mendadak dengan salah satu stasiun televisi terbesar di Indonesia. Bukannya apa, tapi masalahnya sudah dari sore saya mempersiapkan diri untuk kencan langka saya bersama Mayang di sebuah restoran yang bahkan sudah saya booking dari jauh-jauh hari.

Kesal sekali rasanya. Saya ingin marah, ingin mengumpat, namun saya tidak bisa. Saya tetap harus profesional dengan apa yang sudah menjadi tanggung jawab saya sebagai seorang publik figur.

"Ck, nggak usah cemberut. Hal ini lebih penting dan menguntungkan ketimbang lo kencan sama pacar karung lo itu."

Saya yang sedang mematut diri di depan kaca, otomatis berbalik dan mencengkeram leher manajer sekaligus sahabat saya yang sudah keterlaluan dalam berbicara.

"Jaga omonganmu, Rey. Jangan menghina pacar saya! Mau dia karung, mau dia gemuk atau bahkan dia buruk rupa, itu sama sekali bukan urusanmu! Saya kekasihnya, dan saya bisa menerima segala kekurangannya. Dan itu cukup! Saya nggak perlu dengar omongan dan pendapat kamu!"

Rey terlihat kesulitan bernapas, namun saya sedang tidak peduli dengan gestur tersiksa nya. Sudah cukup dia menguji saya. Saya tidak mau sampai sisi kelam saya kembali bangkit hanya karena pancingan tidak bermutu darinya.

Sayup saya bisa mendengar suara pintu terbuka. Dan tahulah saya siapa orang tersebut.

"Hei hei hei, easy gentleman! Ini ada apa sih sampe berantem gini?"

Saya mendengus, masih tanpa menatap Serena yang merupakan tamu tak diundang di ruang ganti khusus untuk saya.

"Ini bukan urusanmu, Serena. Tolong, jangan lagi menerobos ke ruangan saya tanpa izin terlebih dahulu. Where's your manner?"

Saya menghempas tubuh Rey yang sedikit linglung dan sedang terbatuk hebat. Sesi acara akan segera di mulai, dan saya harus bisa menjaga mood saya tetap baik selama interview berlangsung.

"Suatu saat lo bakal nyesel, Va. Nyesel karena lo pertahanin cewek sempurna lo itu bangsat!" maki Rey yang untuk kali ini tidak saya gubris. Persetan dengan semua ucapannya. Saya lebih butuh udara segar.

Saya mampir ke taman buatan di lantai lima gedung ini dan segera duduk sambil menyugar rambut. Semua terasa memuakkan buat saya.

Tidak ada dari mereka yang mendukung saya dengan Mayang. Di mata mereka, saya hanya pantas bersanding dengan Serena, yang jelas-jelas tidak saya cintai sama sekali. Saya bahkan ragu kalau kami di sebut berteman.

"Ini buat kamu."

Saya menoleh, mendengus ketika menemukan Serena sedang mengulurkan sekaleng minuman bersoda di depan saya.

"Leave me alone, Serena. Plis, kali ini aja jangan dekati saya."

Namun Serena sepertinya tuli mendadak, karena nyatanya, gadis muda itu justru sudah duduk manis di samping saya.

"Nope. Di mana ada kamu, di situ juga ada aku, Ceva. Kita kan pasangan."

"Di dalam film, ya. Tapi di dunia nyata, kamu bukan siapa-siapa saya."

Kami terdiam cukup lama setelah saya berkata pedas seperti itu. Jujur, saya bukanlah orang baik yang bebas dari dosa. Saya adalah contoh penyesalan akan kenakalan di masa lalu. Tapi jujur, saya paling malas berurusan dengan yang nama nya Serena jika bukan untuk kepentingan proyek sebuah film.  Seperti ada yang membuat saya membatasi hubungan kerja kami. Saya bahkan selalu teringat bagaimana minder nya Mayang akan sosok Serena, perempuan yang di gadang-gadang paling cocok sebagai pasangan saya.

Tapi siapa sangka, disela keheningan baru saja, Serena justru tertawa keras sambil sesekali memegangi perutnya. Seolah saya habis melawak hal yang lucu.

"Aku nggak nyangka kalo ternyata, menaklukan hati kamu itu sulitnya bukan main. Mengalahkan sulitnya proses syuting kita di Tibet dulu."

Saya tidak bergeming. Tidak peduli lebih tepatnya. "Saya tidak tertarik sama kamu dalam konteks di luar job. Saya hanya suka bekerja sama dengan kamu karena kamu itu pekerja keras dan fokus. Tapi untuk di luar hal itu, saya tidak tertarik."

Kepala Serena manggut-manggut paham. "Dan kami lebih tertarik pada pacar kamu yang kata teman-teman mirip kaya....karung itu?"

Seketika saya menoleh dan menatap Serena super tajam. Namun alih-alih merasa berdosa, Serena justru tertawa layaknya hiburan. Ia menganggap kondisi fisik Mayang adalah hal yang bisa di jadikan sebuah joke.

"It's not funny, Serena Andramawan!" desis saya mencoba mengontrol emosi yang nyaris kembali menggelegak.

Lagi-lagi ia berlagak seperti manusia tanpa dosa yang hanya mengedikkan kedua bahu sempitnya. "Siapa yang bilang ini lucu? Toh emang kaya gitu kan faktanya? Seorang Ceva Algoritma yang terkenal seantero nusantara memilih melabuhkan hatinya ke gadis gendut yang bahkan mirip kaya tong sampah."

Cukup sudah! Saya sudah tidak bisa menahan semua nya! "Well, saya bahkan nggak menyangka sama sekali kalo ternyata, sosok yang jadi idola seantero Indonesia, yang kata nya goals dan banyak dipuja netizen bahkan nggak lebih cantik dari hati pacar saya yang katanya mirip karung." Serena terlihat syok mendengar ucapan saya. "Memang benar apa kata orang, cantik wajah itu bukan berarti memiliki kecantikan hati juga. Dan sekarang, saya baru percaya pepatah itu, Serena. Terimakasih karena sudah menunjukkan sama saya kalo pepatah itu bukan hanya bualan belaka."

Saya dengan cepat berderap meninggalkan gedung, memacu mobil pribadi saya yang kali ini menjadi kendaraan saya menuju ke studio interview.

Saya muak. Saya benci dengan hidup saya. Dan terlebih, saya tidak terima dengan penghinaan yang terus menerus mereka luncurkan pada Mayang akan kekurangan yang dimilikinya.

Masa bodoh dengan tanggung jawab! Masa bodoh dengan profesionalitas! Yang saya butuhkan saat ini adalah meringkuk hangat di pangkuan Mayang yang hangat.

Ya, saya hanya butuh Mayang di hidup saya.

🎇🎇🎇🎇

Ini beneran nggak kuedit sama sekali. Maaaffff banget kalo typo🙏🙏

07 Oktober 2020

Dear MayangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang