Mayang 09

2.9K 609 34
                                    

Selama ini, aku berusaha untuk selalu menutup telinga akan semua hinaan yang disematkan untukku, meskipun sesungguhnya hal itu sangat menyakiti hatiku.

Aku selalu berpikir kalau memang diriku memiliki kekurangan, sebab itulah mereka selalu menyematkan sebuah sapaan ramah mareka padaku.

Tapi ketika aku mendengar sendiri bagaimana aku di caci dan di hina oleh seseorang yang penting bagi Ceva, mau tak mau air mataku mengalir juga pada akhirnya. Merasakan hujaman perih di relung hatiku yang terluka atas perlakuan mereka.

Malam ini aku menangis terisak di balkon kamarku. Meratapi segala liku rasa yang selalu ku emban sejak kecil atas kesalahan yang sesungguhnya tak pernah kubuat.

Aku menangisi kenapa hatiku harus terlabuh pada sosok Ceva, lelaki yang terpaut sepuluh tahun dariku. Yang sangat sempurna dan juga tanpa cela. Aku tentu nya di anggap sebagai pungguk yang merindukan bulan. Berharap kalau hubunganku dengan Ceva yang sempurna bisa berjalan lancar dan tanpa hambatan. Sesuatu hal yang terlalu muluk untuk kuharapkan.

Teringat di kepalaku bagaimana wajah memohon Ceva ketika memintaku untuk bertahan di sisi nya kendati semua orang menghujat kebersamaan kami. Baginya, tak masalah mereka menghujat hidup Ceva, asal aku tetap menjadi miliki lelaki sempurna itu.

Aku tersedak tangis, mengingat kembali bagaimana hubungan kami selama ini terjalin. Ada banyak beban yang kupikul, yang kalau kata Manda justru menjadi toxic untuk kewarasanku. Entahlah. Manda memang tak menyukai Ceva kendati ia adalah sosok publik figur yang sempurna. Manda sering berkata kalau firasatnya merasakan ada ketidakberesan pada sosok Ceva yang menurut nya aneh.

"Anak Papa kenapa hm?"

Aku terkesiap saat melihat dan merasakan Papa sudah memelukku dari belakang, mencoba membalik tubuhku agar menghadap pada sosok yang menjadi cinta pertama dalam hidupku.

"Papa kapan masuk?" tanyaku serak sambil menyeka air mata yang masih menitik. Aku berusaha tersenyum, walau ekspresi Papa terlihat sedih dan tersiksa.

"Sejak anak Papa nangis, mungkin?" kelakarnya mencoba menghiburku.

Papa mengajakku duduk kembali ke kursi yang kuletakkan di balkon. Memaksaku untuk duduk di pangkuannya, mengabaikan kalau berat tubuhku bahkan mungkin setara dengan berat badan Papa.

"Pa, Mayang berat." ingatku pada Papa. Namun sama sekali tak digubris olehnya. Papa tetap memiringkan tubuhku untuk duduk di atas pangkuannya. Menenggelamkan wajahku pada dada nya yang hangat, tempat favoritku mengadu sejak masih balita.

"Anak Papa nggak pernah bikin Papa kewalahan, meskipun kamu berat sekali pun, sayangnya Papa."

Aku mendusal dada Papa yang sudah tak sekekar ketika aku kecil dulu. Rambut Papa yang kini sebagian berwarna keperakan tak mengikis ketampanan yang kata Mama jadi idaman seluruh mahasiswi nya ketika masih muda dulu. Aku ingat bagaimana kesal nya ekspresi Mama dulu ketika menceritakan pengalamannya menghadapi mahasiswi genit yang mencoba menggoda Papa.

"Mayang sayang Papa." bisikku.

Papa menumpu dagu di puncak kepalaku, dengan tangannya yang mengusap naik turun lengan berlemakku.

"Kalau Mayang sayang sama Papa, kenapa Mayang nggak pernah mau cerita apapun ke Papa, nak? Alasan kenapa Mayang nangis malam ini? Kalau Mayang tetap diam, itu artinya Mayang nggak percaya sama Papa, nak."

Aku merenungkan ucapan Papa. Sedikit merasa bersalah karena sikapku yang justru memancing spekulasi lain pada pikiran Papa.

"Mayang cuma nggak mau bikin Papa dan Mama kepikiran."

"Alasan kamu nggak bisa Papa terima. Sekarang, apa bisa kalo anak Papa yang cantik ini jujur ke Papa sekali aja hm? Papa sedih lho nggak pernah jadi tempat anak semata wayang Papa curhat." bujuknya memelas yang malah membuatku terbahak geli.

Aku mengusap wajah Papa yang sudah di hiasi keriput di kedua sisi matanya yang tajam. Wajah Papa tetap dipertahankan halus tanpa cambang karena katanya, Mama tidak suka kalau melihat Papa memiliki cambang. Terkesan berantakan dan jorok.

"Pa, apa Mayang berharga?" tanyaku spontan.

Papa menatapku tajam dengan kening yang mengerut tak senang. "Of course, baby girl. Kamu sangat sangat sangat dan amat berharga buat Papa dan Mama. Kamu segala nya buat kita, sayang. Kenapa kamu bisa kepikir nanya hal kayak gitu?"

Aku menggeleng sambil tersenyum kecil. "Mayang cuma penasaran, Pa. Kondisi fisik Mayang kan nggak sempurna. Pastinya banyak yang mikir kalo Mayang itu bukan hal yang pantes buat dipertahankan."

"Apa Ceva yang bilang gitu?" tuduh Papa dengan rahang mengeras dan mata menajam, sarat akan emosi.

Aku membelalak dan menggeleng cepat-cepat. "Eh eh bukan kok Pa. Ceva nggak pernah ngomong gitu." elakku cepat sambil menatap horor wajah Papa. Matilah aku kalau sampai Papa salah paham dengan obrolanku kali ini.

"Terus siapa? Jangan bohongin Papa, sayang. Papa orangtua kamu."

Aku mendesah lirih. Menatap takut-takut pada wajah Papa yang masih menuntut kebenaran akan ucapan spontanku tadi.

"Manajer sama teman Ceva banyak yang nggak suka sama Mayang, Pa. Mungkin mereka masih nggak habis pikir kenapa Ceva mau pacaran sama perempuan jelek kayak aku." kekehku getir.

"Sayang." Papa mendesah sedih dan segera menciumi wajahku bertubi-tubi. "Segala pro dan kontra itu wajar dalam setiap hubungan. Nggak ada hubungan yang selalu berjalan mulus tanpa ada nya konflik. Dan kamu harus membiasakan diri buat menutup mata dan telinga sama semua yang kontra dengan hubungan kamu dan juga Ceva. Biarkan semua menghina, menghujat, atau mencerca kamu dan Ceva, asal kan kalian tetap saling percaya dan berkomitmen, Papa yakin nggak ada yang harus di pusingkan dalam hubungan kalian. Biarkan anjing menggonggong, kafilah berlalu."

Aku mendengarkan petuah dari Papa dengan seksama. Jadi intinya, biarkan semua menghina dan menghujat asal Ceva tetap menyayangiku. Begitu kan maksudnya?

"Jadi?"

Papa menjawil hidungku gemas. "Jadi, asal Ceva nggak menyakiti kamu seperti yang mereka lakukan, nggak ada alasan buat Papa ngehajar pacar kamu itu."

Aku cemberut, sedangkan Papa terbahak melihat wajahku.

"Papa ihhh." rengekku kesal.

Namun Papa tidak menggubrisku. Aku lantas menerima uluran tangan dari Papa yang mengajakku turun ke meja makan.

"Ayo makan dulu. Mama udah bikin nila bakar buat kita. Kalo nggak cepetan, nanti Mama ngomel."

Aku lantas ikut tertawa mendengar gerutuan Papa. Ya, Papa dan rasa sayang nya pada Mama yang tidak pernah pudar.

🎇🎇🎇🎇

Kangen Juna ih😢

11 Oktober 2020.

Dear MayangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang