Mayang 13

2.8K 551 72
                                    

Aku duduk di dalam dekapan Mama yang sejak tadi tak henti mengusap punggung dan menenangkanku. Sedangkan Papa sejak tadi tak henti memainkan ponselnya, menelpon Ceva yang sejak tadi tak jua mengangkat panggilannya. Rahang Papa mengeras penuh murka.

"Bajingan tengik! Anak ini nggak sayang nyawa sampe berani main-main sama Papa."

"Pa, jangan ngomong gitu. Coba Papa tenangin diri dulu. Kita harus selesaiin ini pake kepala dingin. Pikirin Mayang juga Pa. Mayang masih syok. Jangan nambahin perkara dulu."

Mama mengusap rambutku yang lepek karena keringat. Lelah karena menangis sejak tahu perbuatan Ceva di belakangku.

"Sayang, Mama tanya boleh?"

Aku menatap Mama dengan sesegukan. Wajah teduh Mama memberiku sedikit ketenangan. Aku mengangguk. Masih tidak bisa menemukan suaraku sendiri.

"Kamu yakin kalo yang kamu liat itu beneran Ceva?"

Lagi-lagi aku mengangguk. "Yakin, Ma. Mayang hapal sama bentuk badan Ceva." Jawabku serak.

"Tuh kan. Ceva memang harus dikasih pelajaran, Ma! Berani nya dia nyakitin Mayang."

Mama mendesah. "Pa, tolong di kontrol ya emosinya. Nggak baik nyelesaiin masalah pake emosi."

"Tapi Ma..."

"Mayang."

Aku tersentak. Begitupun dengan Mama dan Papa. Aku hapal betul suara siapa yang tengah memanggil namaku dengan sendu nya.

Pikiranku kosong, bahkan ketika melihat Papa menghajar Ceva habis-habisan yang sama sekali tidak di elak oleh Ceva kendati bibirnya sudah robek dan mata nya lebam.

"Arjuna, cukup!!"

Barulah ketika akhirnya Mama berteriak memanggil nama Papa, kesadaranku sepenuhnya kembali ke bumi.

Aku berlari, berusaha memisahkan tubuh Papa dan Ceva yang sudah terkapar di lantai. Hajaran Papa tidak main-main kerasnya.

"Pa cukup Pa. Mayang mohon." Pintaku memelas sambil memeluk tubuh Papa yang terengah-engah karena dorongan adrenalin.

Papa memelukku erat, seolah berusaha menjauhkanku dari jangkauan Ceva yang akan menyakitiku.

"Masih punya muka kamu dateng ke sini, hah?" Teriak Papa penuh murka.

Ceva yang meringkuk di lantai lantas berusaha bangun, tentu dengan bantuan dari Mama. Papa menatap tak suka akan bantuan Mama.

"Ma, ngapain kamu bantuin dia?! Biarin aja dia kesakitan, mati kalo perlu!"

Mama menatap tajam pada Papa. "Dan kamu mau aku jadi janda dan Mayang kehilangan Papa nya gara-gara kamu dipenjara habis bunuh anak orang? Iya?"

Papa terdiam begitu Mama berkata seperti itu.

"Pa, semua bisa kita cari jalan keluarnya tanpa kekerasan. Lagipula dengan kamu pukulin Ceva, apa kejadian itu bakal menghilang? Apa rasa sakit anak kita bakal lenyap seketika? Nggak, kan?"

Papa mendengus keras, lantas menatap Ceva yang kini sudah mendudukkan diri dengan bantuan Mama. "Ayo kita bicarakan ini. Dan Om harap kamu masih punya banyak stok nyawa."

Mama memutar bola mata dan membantu memapah Ceva menuju sofa. Awalnya aku hendak membantu, tapi tangan Papa dengan cepat memeluk posesif tubuhku. Jadilah aku hanya bisa pasrah menatap repotnya Mama memapah tubuh besar Ceva.

"Jadi, bisa kamu jelaskan apa yang udah kamu perbuat ke anak Om?"
Papa membangun benteng tinggi pada Ceva dengan memanggil dirinya sendiri dengan sebutan Om, bukan Papa seperti biasanya.

Ceva yang duduk di seberangku menatap wajahku dengan wajah sedihnya. "Mayang..salah paham, Pa." Ucapnya terbata.

Papa mencibir sinis. "Alibimu udah pasaran!"

Mama menggeleng menatap Papa. Lantas ketika Mama menatapku dan mendapat izin dariku, Mama lah yang kemudian mengambil alih situasi.

"Va, terus terang Mama kaget waktu Mayang cerita kalo dia lihat kamu lagi ciuman sama perempuan di bar. Itu beneran kamu?" Tanya Mama perlahan. "Sejak kapan kamu suka main di tempat kayak gitu hm?"

Ceva menatapku pilu. Matanya memerah di antara bengkak yang menghiasi seputaran area mata.

"Ceva ngaku Ma kalau itu beneran Ceva. Tapi untuk kejadian ciuman itu...Mayang salah paham." Bisiknya lirih menatapku sendu.

Baru saja Papa hendak menyela, namun delikan galak Mama menghentikan semua keinginan Papa.

"Kalo menurut Ceva semua ini salah paham, bisa kamu jelasin nak gimana kronologi yang sebenernya?"

Aku membuang muka. Mataku terpejam, berusaha menyiapkan hati akan jawaban yang sesaat lagi terlontar dari Ceva.

Suasana hening untuk beberapa waktu. Ceva yang kukira akan segera beralibi demi melindungi diri dan posisi, justru tampak terpekur. Bimbang akan sesuatu.

"Va?" Tanya Mama sambil mengusap bahu kekasihku.

Seolah tersadar, Ceva tersenyum, namun tidak dengan mata nya. "Ma, Pa, Ceva mau ngaku dosa ke kalian semua. Termasuk ke kamu, sayang." Ujarnya sambil menatapku pilu.

Jujur aku gugup sekaligus takut kalau pengakuan dosa yang akan ia katakan semakin menyakitiku. Apa jangan-jangan perempuan itu adalah kekasih Ceva yang sesungguhnya? Atau aku ini hanya sebuah objek taruhan belaka? Masih banyak spekulasi yang coba kurangkai di kepalaku saat ini.

"Apa itu nak?" Tanya Mama penasaran.

Ceva terlihat meneguk ludah berkali-kali. Matanya juga menatapku gelisah.

"Ini semua tentang masa lalu Ceva Ma, Pa."

Papa nampak menunggu Ceva dengan rasa penasaran tinggi. Begitu juga denganku yang sudah berdebar tak karuan.

Dengan menarik napas panjang, dan sebuah bulir air mata, Ceva menundukkan wajahnya.

"Ceva dulunya...gigolo."

🌼🌼🌼🌼🌼

Gimana coba rasanya jadi Mayang sekeluarga waktu tau apa masa lalu calon mantu mereka? Bisa civil war ini😂

17 Oktober 2020

Dear MayangWhere stories live. Discover now