Ceva 16

3.3K 699 72
                                    

Rey menatap saya murka setelah saya mendatangi manajemen untuk memutuskan kontrak saya yang sebetulnya masih cukup lama. Namun niat saya ini sudah tidak bisa saya urungkan lagi. Bagi saya, apapun yang membuat Mayang selama ini tertekan dan terluka, tidak akan saya pertahankan meskipun itu ladang saya mencari uang.

"Serius Va? Lo mutusin kontrak gitu aja tanpa diskusi dulu sama gue? Otak lo kemana hah?" Bentaknya luar biasa keras.

Saya sendiri tidak bergeming. Saya justru menatap Rey dengan tatapan datar. "Ini sepenuhnya hak saya. Diskusi atau tidak sama kamu nggak akan berpengaruh. Karena saya yakin kamu bakal tetap memaksa saya bertahan."

Rey memijat kening nya kasar. "Va, lo pikir deh. Kita masih ada kontrak jangka panjang sama salah satu brand fashion. Belum lagi lo jadi ambassador salah satu produk kesehatan yang lo tau sendiri income nya nggak main-main. Lo bisa kaya mendadak, Va! Dan dengan keluarnya lo dari kontrak manajemen, itu jelas bikin lo rugi! Lo harus bayar penalti macem-macem."

"Untuk job jangka dekat, saya janji bakal tetap selesaiin itu semua. Tapi untuk kontrak yang masih lama, saya nggak bisa ngelanjutin Rey. Saya butuh mengejar kebahagiaan saya."

Mata Rey membara. "Kebahagiaan? Si gendut busuk itu kan yang lo maksud?" Cecar nya emosi.

Untuk pertama kalinya dalam sepanjang perkenalan kami, akhirnya saya bisa meninju wajah  Rey bertubi-tubi, hingga banyak yang memisahkan adu gulat antara saya dan juga Rey.

Saya menepis upaya seorang security yang mencoba menahan tubuh saya. "Kamu dengar baik-baik, Rey. Mulai detik ini, pertemanan kita cukup sampai di sini! Sudah cukup selama ini saya sabar mendengar hinaan kamu pada Mayang."

Rey membersut darah yang keluar dari sudut bibirnya yang robek. "Lo tuh emang udah buta, Va. Serena dengan segala kesempurnaannya malah lo abaikan demi si gendut..."

Saya berlari dari rengkuhan security dan kembali menghajar Rey setelah kalimat pedasnya yang lagi-lagi ditujukan untuk Mayang.

"Kamu harus belajar mengontrol mulut busuk kamu ini, Rey." Bentak saya sambil terus menghajar Rey yang sudah lemas. "Saya bahkan bersedia membunuh kamu detik ini juga, karena bagi saya, kamu itu nggak lebih dari sampah."

🍂🍂🍂

Saya memasuki apartemen setelah mampu menguasai emosi dengan Rey yang dilarikan ke rumah sakit akibat memar pasca perkelahian kami.

Memasukkan kode keamanan, saya lantas mengganti sepatu menggunakan sandal rumah dengan keadaan yang saya biarkan tetap gelap.

Saya menghempaskan diri di sofa, memijat kening karena masalah yang bertubi-tubi datang menimpa. Sebetulnya, saya tidak peduli dengan masalah perkelahian saya dengan Rey. Tapi saya tidak bisa diam saja ketika mengetahui masih ada hal yang mengganjal di hubungan saya dengan Mayang.

Saya yang tengah memikirkan kondisi hubungan dengan Mayang lantas mengernyit heran saat menemukan segelas coklat panas yang masih mengepulkan asap, pertanda baru di buat beberapa saat lalu. Saya juga baru menyadari adanya kue almond kesukaan saya yang biasanya dibuatkan oleh Mayang ketika kami kencan di rumah.

Tubuh saya bergetar. Aoakah Mayang datang menjenguk saya? Kapan ia datang? Apakah sekarang ia sudah pulang? Berbagai pertanyaan jelas berkecamuk di kepala saya. Saya baru hendak mengecek seluruh keadaan rumah ketika sebuah pelukan melingkari leher saya erat.

Napas saya tercekat. Menyadari dan mengenali betul tangan siapa yang kini memeluk saya dengan lembut.

"Sayang." Bisik saya lirih dengan mata berkaca-kaca.

Mayang tetap tidak bersuara, namun saya bisa merasakan titik air mata di atas leher saya. Mayang menangis.

"Sayang, tolong jangan nangis." Pinta saya serak dengan memeluk tangan Mayang yang berada tepat di depan dada.

"Maafin aku." Bisiknya sendu yang semakin membuat hati saya terkoyak perih.

Saya mengurai pelukan sepihak dan menuntun Mayang duduk di sisi saya. Kami berdua saling menatap, menyelami perasaan kami satu sama lain.

"Maafin aku. Aku tau aku laki-laki kotor yang nggak pantas buat bersanding sama kamu." Tutur saya pilu. Percayalah, saya merasakan himpitan pedih di dada saya ketika mengatakan kenyataan itu. Saya kotor dan saya tidak pantas bersanding untuk Mayang, tapi saya ingin tetap merangsek ke dalam kehidupan Mayang hingga kami menua nanti.

"Kamu nggak salah. Aku yang salah, Va. Aku egois. Aku mementingkan rasa sakitku sendiri dan buta sama rasa sakit kamu. Aku jahat." Isak nya pilu.

Saya merengkuh tubuhnya ke dalam dekapan erat. Tuhan tahu betapa saya rindu akan kebersamaan kami. Meskipun sebelumnya saya jarang ada waktu untuk kami sekedar bertemu dan melepas rindu, tapi setidaknya saya selalu meluangkan waktu untuk berkirim kabar atau melakukan panggilan video.

"Kamu nggak jahat. Itu wajar sayang. Di saat itu kamu masih terlalu syok dan sakit hati. Semua reaksi kamu bisa aku terima." Ucap saya menenangkan Mayang yang tidak henti menangis. "Tapi aku nggak bisa kalo kamu minta kita pisah. Aku nggak bisa. Aku nggak mau." Tolak saya cemas dengan menggelengkan kepala. Ngeri membayangkan jika hal itu sampai terjadi.

"Aku nggak baik buat karir kamu, Va. Aku cuma penghambat..."

Saya tidak tahan lagi. Saya dengan cepat melumat bibir Mayang. Memberikannya pengalaman berciuman untuk pertama kalinya selama kebersamaan kami. Bukannya saya tidak sudi mencium kekasih saya sendiri. Tapi saya hanya takut saya akan lepas kendali jika sekali saja saya merasakan sensasi bibirnya yang ranum dan juga merekah. Saya tidak akan merusak Mayang!

Saya melepas pagutan bibir kami berdua. Menatap Mayang yang terengah dengan wajah memerahnya. Sangat cantik. Saya menyatukan kening kami dengan buncahan rasa yang luar biasa mendamba.

"Manis. Dan nyaris bikin aku lepas kendali." Bisik saya pada Mayang, direspon dengan wajah kemerahan Mayang karena malu.

"Kamu...brutal. Sampe kebas rasanya." Keluh Mayang sambil mengerucutkan bibirnya, memancing gairah liar saya yang menatapnya.

Saya tersenyum, memberanikan diri mengecup bibir nya kembali untuk kedua kalinya. "Berhenti godain aku, sayang. Imanku lagi tipis sekarang."

Mayang berdeham dan tersipu malu. Saya gemas sekali melihatnya. Mayang benar-benar gadis yang polos dan lugu.

"Jangan pernah lagi kamu sebut diri kamu beban, penghambat, atau apapun ya sayang. Kamu itu segala nya buat aku. Dengan kamu bilang kaya gitu, kamu sama aja menyakiti aku." Ucap saya serius sambil menggenggam tangan nya.

Mayang menatap saya ragu. "Tapi kan, Rey sama Serena nggak suka sama aku." Cicit nya sendu. Saya menghela napas berat. Terkutuklah Rey yang pernah melukai hati gadis sebaik Mayang.

Saya mengusap pelan pipi Mayang dan menatapnya lembut. "Kamu nggak usah khawatirin Rey lagi. Karena mulai sekarang, aku udah mundur dari dunia entertain."

🌼🌼🌼🌼🌼🌼

Sumpah, aku nggak edit part ini sama sekali. Selain karena aku kelelahan, mood ku juga anjlok banget. Banyak hal yang bikin aku kesel, termasuk vote cerita ini yang timpang sama readers nya. Vote hanya kisaran 300, sedangkan pembaca nya ribuan😪

Kadang sedih, pengen nampolin silent reader, tapi aku sadar kalo aku up juga karena keinginanku sendiri. Apa aku harus tentuin target buat up next chapternya? Feedback yang aku dapet beneran nggak sepadan sama effortku mikir😔

Sekarang terserah kalian aja dear. Aku santai kalo kalian santai. Dan aku gercep kalo kalian gercep. Kalian tentu nggak lupa kan gimana gila²an nya aku up epiphany dan HD karena respon baik kalian? Jadi, ini semua tergantung kalian.

23 Oktober 2020

Dear MayangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang