preamble

3.6K 362 148
                                    

Gesekan ujung katana pada lantai kayu yang tidak rata seperti suara kematian bagi Jiyeon yang kini menopang tubuh dengan kedua lututnya. Sementara dua tangannya dirantai dan membuat bentangan lengan yang pasrah akan nasibnya.

Air mata tak mampu lagi keluar untuk menangisi takdir tragis yang menimpanya. Kepala itu masih tertunduk, surai sewarna daun di musim gugur terurai lurus bak tirai menutupi sisi wajahnya. Menyembunyikan wajah kecil yang begitu putih dengan sepasang mata yang putus asa.

"Putri Jiyeona D' Athanasius, pesan terakhir?" Aksen berat nan dalam itu membuat Jiyeon perlahan mengangkat wajah pucatnya. Di depan sana, semua orang terlihat antusias menunggu detik-detik katana memutuskan kepala dari badan Jiyeon.

Raut wajah mereka terlihat penuh semangat, seolah yang mereka saksikan adalah  pesta pernikahan, bukan sebuah eksekusi mati. Termasuk orangtua dan kakak kandungnya. Mereka tidak menatap iba, tabiat buruk dan sifat Jiyeon yang kerap kali membuat orang sekitar murka, menjadikan mereka tidak begitu peduli jika Jiyeon meregang nyawa.

Namun ada satu sosok yang menatap sendu Jiyeon di ujung sana, kedua matanya terlihat sembab seolah baru saja menangis hebat. Jejak air mata pun masih terlihat jelas pada pipi putihnya. Juga sapu tangan yang ia genggam untuk mengusap air di sudut matanya.

Luna, pelayan pribadinya yang selalu menemani Jiyeon dan melayani sepenuh hati. Jiyeon menyematkan senyumnya pada Luna, meminta gadis itu agar tidak menangis lagi.

Lalu matanya berpendar mencari pria yang ia cintai. Tidak terlihat sama sekali, dan yang kini memenuhi ruang netra adalah rakyat D' Athanasius yang tidak sabar menunggu hukuman mati untuk sang tuan putri.

Kini, mata Jiyeon menangkap katana itu dibasuh air yang diambil dengan pelepah daun. Menyebabkan genangan pada lantai yang baru saja tergores akibat tajamnya katana.

Tuduhan jika Jiyeon membunuh tunangannya satu minggu sebelum berlangsungnya pesta pernikahan mereka, membuat gadis itu mendapat hukuman mati. Tidak ada yang membela kala bukti memberatkannya sebagai tersangka.

Didukung dengan sebuah fakta tentang perselingkuhannya dengan Duke Xavierian, juga tingkah laku jahat yang sudah melekat. Jiyeon tidak memiliki apa pun untuk dijadikan alibi.

Katana itu terangkat di udara, Jiyeon merunduk dengan surai halus yang kembali menutupi sisi wajah. Satu tetes bulir bening lolos dari sudut matanya dan mengalir pada batang hidung mancungnya. Matanya terpejam, menanti  katana tersebut menebas batang lehernya.

"Semoga kau menyesali perbuatan burukmu semasa hidup, Putri D' Athanasius."

Satu kalimat terakhir sebelum mata katana itu berhasil memisahkan kepala Jiyeon dari tubuh gadis itu. Kucuran darah langsung membanjiri lantai kayu, tubuh itu masih tertahan karena kedua pergelangan tangan yang terkukung rantai besi. Sementara kepala Jiyeon sudah menggelinding dengan rambut yang menutupi sebagian wajah Jiyeon dengan kedua mata yang terbuka.


...


"Shit!"

Umpatan itu meluncur ringan dari bibir tipis gadis berusia dua puluh empat tahun tersebut.

Bunyi berdebum yang ditimbulkan buku yang baru saja Jiyeon tutup rapat semakin membuat ketiga temannya menatap heran.

Kadangkala, hobi membaca juga membuatnya stres bukan kepalang, lantaran tidak terima dengan akhir dari sebuah cerita yang ia baca. Termasuk saat ini, novel dengan sampul yang ketinggalan jaman itu diremat kuat oleh kesepuluh jari lentiknya. Sebelum tangan itu menangkup wajah mungilnya untuk meredakan amarah yang bisa-bisanya lebih membuat panas daripada cuaca terik siang ini.

Verticordious✔Where stories live. Discover now