1 - Dia

11.5K 1.1K 116
                                    

H A P P Y R E A D I N G















Inilah kisahku, bersama sosok misterius yang menjadi Motivasiku untuk tetap hidup.










Senin, 01 Agustus 2018

Pagi ini sekolahku dibuat heboh dengan seorang siswa baru, yang katanya memiliki paras tampan dan senyum magnet. Secara pribadi, aku tidak begitu peduli dan tidak tertarik untuk mengenalnya.

Bu Ainun selaku wali kelas XI IPA 1. Beliau memasuki kelas serta membawa beberapa buku paket Bahasa Indonesia, tampaknya hari ini beliau akan membagi kelompok lagi seperti biasanya.

Ada yang asing, tampak seorang siswa masuk dengan wajah cerah sembari menyembunyikan tangan di belakang. Potongan rambut yang rapi, pakaian yang rapi, serta mata sipit yang terlihat menggemaskan. Namun, dia terkesan cupu, menurutku.

"Pagi anak-anak, kali ini ibu membawakan kalian teman baru. Silahkan, Nak," ucap bu Ainun ramah.

Ia mengangguk, lalu menatap kami semua dengan senyum yang lebar. Tampan, aku akui senyumnya memang menarik seperti magnet. Dan aku tak menyangka kenapa harus di kelas ini tempatnya terhenti.

"Salam kenal semuanya, perkenalkan nama saya Aldi, semoga bisa berteman baik."

Sesingkat itu perkenalannya, lalu bu Ainun menyuruhnya untuk duduk di samping Pandu si ketua keamanan kelas.

Aldi. Satu kata saja, singkat sekali. Wajahnya yang tampan dan terkesan cupu itu lumayan cocok dengan nama Aldi. Kita lihat saja, bagaimana otaknya.

"Seperti biasa, ibu akan membagi kalian menjadi empat kelompok. Karena kita akan melakukan observasi terhadap beberapa buku yang ada di perpustakaan," jelas bu Ainun. Lalu mengambil secarik kertas yang mungkin sudah disusun semalam.

Setelah menjelaskan dan membagi kelompok, kami pun mulai duduk berdasarkan kelompok masing-masing. Aku bersyukur sekali, siswa baru culun itu tidak bersamaku.

"Sebelum masuk ke inti pembahasan, ada baiknya kita harus mengetahui apa itu observasi. Ada yang bisa jelaskan secara rinci?" tanya bu Ainun.

Apapun pertanyaanya aku pasti bisa menjawab, dan itulah mengapa akh selalu menjadi bintang kelas. Otomatis aku mengangkat tangan dengan penuh percaya diri. Toh hanya aku yang akan dipersilahkan untuk menjawab.

"Iya. Silahkan Aldi," ucap bu Ainun.

Sial. Aku menoleh ke belakang, tepat pada kelompok empat. Anak baru itu ternyata lumayan juga, aku tidak boleh meremehkannya.

"Observasi atau dengan kata lain adalah pengamatan, di sini kita dituntut untuk mengamati, mencermati sebuah objek tertentu lalu menuliskan kembali inti-inti yang menurut kita penting. Setelah itu barulah ke tahap presentasi."

Seisi kelas langsung bertepuk tangan riuh, sekaligus takjub dengan jawaban Aldi. Ya, jawabannya lumayanlah tapi jika aku diberi kesempatan mungkin jawabanku lebih menarik.

"Wah, ibu kagum sama kamu, Aldi. Baru pertama sekolah kamu sudah mendapat nilai A+ dari ibu," puji bu Ainun.

Aku iri, seharusnya aku yang mendapat pujian itu bukan dia.

"Kayaknya, bakal ada saingan nih," sindir Vivi, menyikut lenganku.

Aku langsung menatap tajam padanya. "Itu masih awal, paling dia cuma jago bahasa indonesia," ucapku sedikit kesal.

"Baiklah, karena teman kalian Aldi sudah menjelaskan apa itu observasi. Sekarang ibu akan kasih tau tugas kalian dalam pembahasan kali ini."

Bu Ainun berjalan menghampiri masing-masing kelompok, memberikan sebuah kertas hvs yang sudah diisi beberapa tugas yang harus dikerjakan.

Setelah semuanya selesai dibagi, bu Ainun langsung mengerahkan kami semua untuk ke perpustakaan untuk mencari referensi dari tugas yang ada.

****

Bel istirahat sudah berbunyi. Kulihat kelas mulai sepi, hanya ada Aku, Vivi dan Aldi. Pun, aku akan ke kantin sebentar lagi selesai menulis tugas terakhir Kimia ini.

"Nis, aku duluan ya! Laper banget soalnya," rengek Vivi dengan raut wajah memohon.

"Oke, tunggu aku di sana," ucapku. Lalu gadis itu meluncur ke kantin secepat kilat.

Sekarang hanya ada aku dan Aldi. Aku sedikit heran, kenapa dari tadi dia tidak beranjak dari duduknya. Ia terlihat sibuk dengan buku paket Kimia dan alat tulisnya. Apa dia tidak lapar atau haus?

Entah apa yang merasuki saat itu, aku langsung berjalan menghampirinya tanpa rasa takut atau gugup. Kutarik kursi di samping kanannya, lalu aku duduk berhadapan dengannya.

Ia mendongkak, dengan kedua alis terangkat.

"Bukannya itu tugas rumah, ya?" tanyaku menyindirnya, karena kulihat tugas Kimia itu hampir habis ia selesaikan.

"Aku sengaja ngerjain di sekolah, soalnya kalau di rumah aku gak punya waktu," ucapnya begitu ramah, sangat ramah seolah sudah mengenaliku.

Aku terkekeh, membuang napas kasar. "Sesibuk itu?"

"Iya. Sepulang sekolah, aku harus membantu pamanku mengambil rumput untuk pakan ternak. Lalu setelahnya, aku akan membantu bibiku untuk menjual gado-gado. Malamnya, aku harus mengajari adikku."

Aku diam. Tertegun mendengar penjelasannya yang sangat rinci tanpa ada yang disembunyikan, dia jujur padaku padahal aku bisa saja menjatuhkannya. "Sebanyak, itu?" tanyaku semakin tertarik.

"Itu tidak banyak, hanya dua jenis pekerjaan saja. Kalau tidak dikerjakan maka kami tidak akan bisa makan, beda dengan kalian orang kaya. Bebas makan apa saja," ucapnya lagi, tapi bibirnya masih bisa tersenyum.

Ya, ucapannya itu sedikit menyindirku. Aku bahkan kadang membuang makanan yang menurutku tak enak, tidak menerima masakan itu jika tak sesuai seleraku. Namun ternyata, masih banyak di luar sana yang susah payah mencari sesuap nasi.

"Hm. Kenapa harus paman dan bibi? Ke mana orang tuamu?"

Ah sial. Entah kenapa lidah ini sulit dikendalikan untuk berhenti bertanya.

Aldi tersenyum, menulis beberapa rumus Kimia dibukunya. Aku sedikit kesal karena ia tak menjawab pertanyaanku barusan. "Oh iya, gak ke kantin. Bentar lagi jam istirahat selesai, lho," ucapnya memperingatiku.

Ah, seketika aku teringat, mengerjapkan mata beberapa kali. Vivi pasti menungguku di kantin. Tanpa banyak kata lagi, aku meninggalkan Aldi di kelas sendiri.

****

"Nisa, lama banget, pdkt sama Aldi?" tanya Vivi kesal, karena sudah menghabiskan dua mangkuk bakso.

"Kamunya yang kecepetan," ujarku membela diri.

Seperti biasa, di kantin aku tidak bisa makan sembarangan. Minum juga harus di jaga, harus bergizi dan cocok untukku. Demi menjaga kesehatanku agar tidak semakin memburuk.

"Astaga, aku lupa bawa bekal dari rumah." Bodoh, terpaksa aku tak makan siang karena lupa membawa masakan yang selalu disiapkan ibu untukku.

"Makan bakso aja," saran Vivi, menyodorkan semangkuk baksonya.

"Nasi goreng aja, deh," ucapku. Aku pun memesan nasi goreng biasa saja sebagai pengganjal lapar, lumayanlah tidak terlalu berbahaya.

"Besok, mungkin aku gak bisa masuk ya. Ada jadwal kemoterapi," ucapku memalas. Seolah-olah kemoterapi sudah menjadi teman paling dekatku.

Kulihat Vivi hanya mengangguk dengan wajah kaku, aku tau. Dia selalu merasa ngilu saat aku menyebutkan kemoterapi, ia bahkan tak sanggup menemaniku.

"Tenang, aku gak minta kamu buat temenin aku. Aku berangkatnya sama mama," ucapku menyentuh pundak gadis itu.

"Semoga cepat sembuh ya, Nis," ucapnya prihatin.

'Untuk sembuh rasanya sudah tak ada harapan.'

























TuhanKu, aku lelah.




















T O B E C O N T I N U E D.

Jemput Aku, Tuhan [OPEN PO]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang