11 - Pergi, Lagi?

3.1K 631 19
                                    

H A P P Y  R E A D I N G

























"TUHAN! KAU JAHAT! KAU MENGAMBIL SEMUA HARTA YANG PALING BERHARGA DALAM HIDUPKU!"

Setelah menyiapkan koper, aku beranjak keluar menemui Aldi, Koko dan Nenek yang menungguku sejak tadi. Mataku sampai bengkak saat menangis hebat tadi.

Kuulas senyum tipis saat di ambang pintu, mereka membalasnya dengan senyum hangat. Kupeluk nenek, lalu koko.

"Makasih, Koko sudah nyelamatin kakak. Dan makasih, Nek. Udah mau nerima Nisa di sini."

Rasanya tak tega pergi dari sini, mereka orang baik. Sangat baik. Aldi sudah mempersiapkan sepeda bututnya di depan rumah, sepeda yang pernah dipakai untuk mengantarku juga.

Setelah berpamitan pada nenek dan Koko, kami berdua pun bergegas pergi ke rumah paman Haris. Koperku kutinggalkan saja, biar paman Haris yang akan mengambilnya ke sini.

Sepeda tua Aldi mulai berjalan, menyusuri jalanan yang berbatu. Membuat sepeda beberapa kali terguncang. Dengan susah payah Aldi terus mengayuh sepeda itu.

"Kamu kuat, sampe rumah paman Haris?" tanyaku ragu. Karena kata dia rumah paman Haris berjarak dua kilo meter dari sini.

"Kuatlah, cuma dua kilo juga."

Aku tersenyum getir melihat punggung Aldi. Kuat? Sejauh dua kilo meter mengayuh sepeda, dengan kondisi mengidap kanker darah? Tidak, Aldi pasti berbohong.

"Yakin?" tanyaku lagi, aku takut terjadi sesuatu pada Aldi hanya karena ingin menolongku.

"Yakin 100%. Kamu ringan juga, aku berasa boncengin kapas aja."

Sialan. Dalam keadaan seperti ini dia masih sempatnya mengataiku, bagaimana aku mau menghilangkan rasa benci kalau dia selalu begitu. Menyebalkan.

Aku pun diam saja, tidak ingin ngobrol lagi dengan Aldi. Mataku terfokus pada deretan rumah sederhana tapi terlihat asri dan nyaman. Banyak anak kecil berlarian, burung-burung beterbangan. Hamparan sawah yang hijau, menambah kesan sejuk dan damai di desa ini.

Walaupun medan jalan yang kami tempuh cukup susah, tapi itu terbayar dengan keindahan desa Makmur. Namun, aku jadi takut Aldi kelelahan. Bukankah itu parah?

"Aldi, gimana kalau kita jalan aja," ucapku memberi saran, karena kudengar Aldi sudah kelelahan.

"Lah, terus sepedanya bagaimana?" Ia pun terhenti tepat di samping persawahan.

Aku turun dari sepeda itu, kemudian berjalan ke sisi kanan memegang setir sepeda Aldi. Ia tampak keheranan dengan apa yang aku lakukan.

"Kita tuntun aja, aku sebelah kanan Kamu sebelah kiri. Kita pegang setirnya masing-masing, biar capenya seimbang," ucapku mencoba mengulas senyum pada Aldi.

"Nisa, kamu itu sakit. Kalau nanti kenapa-kenapa di jalan, kan aku gak tau harus berbuat apa," ujar Aldi menolak.

Kuembuskan napas berat, kulihat hamparan sawah yang menghijau itu. Perlahan kupejamkan mataku, menikmati betapa sejuknya pemberian Tuhan. Lalu aku berbalik pada Aldi. "Emangnya kamu sehat?" tanyaku dengan kedua alis terangkat.

Seketika Aldi terdiam beberapa saat, menatapku dengan tatapan sulit diartikan. Lalu detik berikutnya ia mengulas senyum tipis untukku.

"Ngomong apa sih, ayo jalan. Keburu siang nanti, soalnya panas," ucapnya mencoba mengelak.

Jemput Aku, Tuhan [OPEN PO]Where stories live. Discover now