21 - Masuk Rs.

2.9K 515 60
                                    

"Seberat dan sebesar apapun masalahmu, Jangan pernah berburuk sangka pada Tuhan."















Bel pulang sudah berbunyi. Aku bergegas menghampiri Aldi ke parkiran, kulihat ia tengah duduk seperti sedang menahan rasa sakit.

Aku langsung berlari menghampirinya, dia membuatku cemas mendadak. Kukeluarkan air hangat dari tas, dan kuberikan padanya. "Minum dulu!"

"Makasih." Aldi langsung meneguk air hangat itu.

Beberapa detik, kuperhatikan wajahnya sangat pucat. Aneh sekali, beberapa hari ini Aldi terlihat lebih sering lelah dan kambuh.

"Kan aku udah bilang, ikut aku kemoterapi. Kita berjuang sama-sama," ucapku semakin cemas, sembari memegang punggungnya.

"Aku enggak apa-apa, ini pasti kecapean aja," ucapnya mencoba mengelak.

"Atau kita ke rumah sakit aja, ketemu sama Dokter Arnold. Mau ya?" Aku memohon, menangkupkan kedua tangan di depannya.

Aldi diam, menatapku dengan sendu. Tidak ada senyum lagi di sana, yang ada hanya rasa sakit yang tertahan.

"Ayo!" Kutarik tangannya, lalu kuambil sepeda. "Naik, biar Nisa yang bawa sepedanya kali ini."

Entah kenapa, kali ini Aldi tidak menolak. Setelah ia naik, aku langsung mengayuh sepeda menuju rumah sakit. Aldi sudah tidak pernah lagi melakukan kemoterapi rutin, bahkan setiap kuajak ia selalu menolak. Dan sekarang ini yang terjadi.

Tak lama kami sampai. Aku kaget, pasalnya wajah Aldi semakin pucat. Dan diapun seperti tidak punya tenaga lagi untuk berdiri.

Belum sempat kupanggil namanya, Aldi sudah jatuh dari sepeda dengan keadaan tak sadarkan diri lagi.

"DOKTER!" teriakku ketakutan.

****

Untuk yang kedua kalinya, Aldi membuat rasa takutku kembali. Takut akan kehilangan sahabat. Saat ini, aku sudah menangis. Mengingat beberapa hari lalu Aldi hampir mati karena penyakitnya kambuh.

"Nisa." Dokter Arnold memanggilku untuk masuk.

Kulihat Aldi terbaring lemah di atas brankar, dengan selang infus dan bantuan oksigen yang menempel. Hatiku seperti ditusuk seribu belati, sakit dan mungkin sudah tidak terbentuk lagi.

"Kondisi Aldi semakin memburuk, kemungkinan besar dia tidak bisa melakukan aktivitas lagi. Dokter minta tolong agar Nisa memberitahu dengan keluarganya," ucap Dokter Arnold sembari mengusap punggungku. Beliau tau, aku sedang sedih saat ini.

"Dok, memangnya kanker Aldi separah apa?" tanyaku dengan suara serak.

Dokter Arnold terdiam, menatap Aldi dengan mata berkaca-kaca.

"Kanker Aldi sebenarnya sudah parah, bahkan lebih parah dari kanker kamu. Kanker Darahnya memasuk stadium empat."

Butiran bening seketika membasahi pipiku. Aku menggeleng lemah tidak kuat mendengar semuanya. Selama ini, Aldi berusaha kuat dan tersenyum. Namun sekarang, aku akan kehilangan senyum hangat itu.

Kuambil ponselku untuk menghubungi paman Haris, agar mengabari Nenek dan Koko mengenai kondisi Aldi yang sekarang.

"Halo, paman. Nisa ada di rumah sakit sekarang. Tolong kasih tau nenek sama Koko, kalau Aldi dirawat."

Astagfirullah. Tetap di situ, Nisa. Paman dan nenek Aldi, akan ke situ.

"Baik, paman."

Sekarang hanya tersisa aku di sini, Dokter Arnold pergi untuk menangani pasien lain. Yang kulakukan sekarang hanya berdoa dan terus berdoa kepada-Nya. Kulihat jam sudah menujukkan pukul enam sore. Perutku sejak tadi keroncongan minta diisi.

Jemput Aku, Tuhan [OPEN PO]Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt