12 - Surat Terakhir dari Mama

3.2K 642 45
                                    

H A P P  Y  R E A D I N G






















Air mata semakin deras membasahi pipiku, bahkan mataku sudah bengkak karena menangis sepanjang perjalanan.

Di depan rumah tampak ramai, untuk yang kedua kalinya bendera kuning itu berkibar di depan rumahku. Aku benar-benar tak sanggup.

Paman Haris menuntunku masuk, tapi kakiku enggan rasanya untuk dilangkahkan. Aku benar-benar tak sanggup kehilangan untuk yang kedua kalinya.

Hingga akhirnya, aku berdiri di ambang pintu. Mataku terhenti tepat di sana, di tempat mama terbaring.

"MAMA!" Kupeluk tubuh ibuku dengan erat, beberapa kali kubangunkan beliau berharap ini hanyalah mimpi.

"MAMA! Jangan tinggalin Nisa! Nisa gak punya siapa-siapa lagi. Siapa yang bakal bawa Nisa ke rumah sakit? MAMA BANGUN!"

Entah sudah berapa banyak air mata yang keluar dari pelupuk mataku, hatiku hancur sangat hancur.

Tuhan jahat! Lihat, dalam keadaan lemah seperti ini. Dia mengambil semua sumber kekuatanku, lantas apakah aku masih berhak hidup?

"Kenapa harus mama! Kenapa ya Allah! Kenapa gak Nisa aja!"

Aku sudah kehilangan kepercayaan pada Tuhanku sendiri. Aku merasa bukan hambanya lagi, aku putus asa. Aku benci hidupku, aku benci segalanya.

Aku terdiam, mengingat beberapa hari kemarin saat ibu memelukku dengan hangat. Setiap aku putus asa, ibu adalah orang pertama yang akan menasehatiku.

Sekarang, semuanya pergi. Ayah pergi, ibu pergi, kenapa engkau tidak mengambil semuanya saja? Kenapa tidak aku sekaligus?

"Ya Allah, cobaan macam apa ini?!" Aku berteriak histeris, sembari kupeluk tubuh kaku ibuku yang terbujur tak bernyawa.

"Istighfar, Nisa. Jangan berkata seperti itu," ucap paman Haris mengelus punggungku.

"Untuk apa istighfar? Setiap hari, setiap malam, bahkan setiap detik dan menit. Nisa berdoa, tapi apa? Tuhan gak jawab semuanya, justru Tuhan mengambil semuanya dari Nisa!"

Aku sudah kehilangan arah, aku sudah kehilangan Tuhanku. Aku sudah kehilangan penyemangatku, kehilangan segalanya!

"Nisa, sabar sayang, tante ada di sini." Tante Melia, istri paman Haris datang dan langsung memelukku. Disitu isak tangisku semakin pecah.

Jiwaku benar-benar terguncang hebat, aku tidak bisa menerima semuanya dengan lapang dada.

"Jangan menangis lagi, mama pasti ikut sedih." Tante Melia terus membisikkanku kalimat-kalimat suci, dan itu malah membuatku semakin membenci Tuhan.

****

Inilah takdirku, selalu berdiri dengan hati remuk di samping gundukan tanah yang masih baru. Taburan bunga kamboja menambah kesan pilu bagiku. Kulihat di samping makam ibu, di sanalah tempat terkahir ayahku juga.

Semuanya benar-benar pergi.

"Nisa, ini surat terkahir dari bu Alika." Tiba-tiba bu Endah, tetanggaku memberikan kertas yang katanya surat dari ibu.

Kuambil, lalu kusimpan dalam saku bajuku. Surat ini akan kubaca setelah di rumah nanti, saat ini aku ingin melihat ibu untuk yang terlahir kalinya. Sekarang, hanya tersisah aku, tante Melia, paman Haris, Aldi dan Vivi.

"Jangan berpikir kamu hidup sendirian, tante dan pamanmu akan tinggal bersamamu. Jangan sedih." Tante Melia menarikku ke dalam pelukannya, dielusnya puncak kepalaku.

"Kalau kamu butuh teman, kita ada di sini, Nisa," ucap Vivi sedih.

Aku benar-benar berada di titik terendah saat ini, hidup tapi terasa mati. Sudah banyak sayatan luka di salam sana, hingga aku tak kuat lagi menahan perih.

Terlebih lagi, penyakit mengerikan ini semakin menggerogoti tubuhku hingga aku terlihat semakin kurus. Tuhan, Jemput Aku sekarang saja!

"Kita pulang ya, nanti Nisa lelah," ucap tante Melia. Dan aku hanya mengangguk lemah.

Semuanya meninggalkan makam ibu, aku menoleh ke belakang dan betapa terkejutnya aku saat melihat bayangan ibu berdiri di sana. Dengan pakaian serba putih dan senyum yang manis, ia melambaikan tangan padaku.

"Tuhan jahat," lirihku mengusap air mata yang kembali lolos begitu saja.

Setelah semuanya masuk ke mobil, paman Haris pun beranjak meninggalkan pemakaman. Sepanjang perjalanan aku hanya diam, menatap kertas yang tadi diberikan bu Endah.

Aku putuskan untuk membacanya di rumah saja.

Beberapa menit kemudian kami pun sampai, aku dan tante Melia turun sedangkan paman Haris mengantar temanku dulu untuk pulang.

Aku melangkah, memasuki rumah yang penuh dengan kenangan indah. Biasanya, di ruang tamu itu ayah akan duduk membaca koran. Sedangkan ibu sibuk mencari resep makanan sehat untukku.

Sekarang, semuanya hilang. Sepi, rumah ini seperti tak hidup lagi. Bayang-bayang tawa ayah dan ibu semakin membuat hatiku sakit.

Di usia semuda ini, aku harus menerima semua cobaan yang berat. Penyakit sekaligus kepergian orangtuaku.

Lagi, mataku memanas saat melihat foto ayah dan ibu yang sedang tersenyum hangat memelukku.

Ayah, Ibu. Nisa rindu.

Ku ambil surat dari saku bajuku, dengan tangan gemetar kubuka.

Untuk Nisa, anak mama yang paling kuat.

Maaf ya, Nak. Mama udah gak jujur sama Nisa, mengenai penyakit serius mama.

Mama, cuma gak mau buat Nisa merasa semakin terpuruk. Mama, cuma mau Nisa sembuh dan bebas seperti remaja pada umumnya.

Kalau nanti mama udah gak ada, Nisa jangan sedih. Nisa harus kuat, percaya sama mama kalau Tuhan itu sudah merencanakan yang terbaik untuk Nisa.

Oh iya, Nisa jangan malas-malas pergi terapinya. Nisa harus bersyukur, karena Nisa masih bisa berobat.

Kalau Nisa mau masak, mama sudah siapkan buku resep makanan sehat sesuai resep dokter.

Mama yakin, Nisa pasti sehat.

Kutarik napas dalam-dalam, lalu kuembuskan dengan perlahan. Tetap tak bisa! Sekarang temanku hanyalah air mata, kesedihan, penyakit dan kesusahan.

Aku bahkan lebih menderita sekarang, aku berpikir buat apa aku hidup sekarang? Tidak ada lagi yang akan kubahagiakan.

"Nisa, bagaimana kalau Nisa di rawat di rumah sakit aja. Biar Nisa bisa cep--"

"Nisa gak mau! Nisa tetap sekolah, kalau Nisa hanya terbaring di rumah sakit yang ada Nisa akan gila," ujarku memotong ucapan tante Melia.

Tante Melia tersenyum hangat, mengelus puncak kepalaku penuh kasih dan sayang. "Ya udah, tante ikutin apa maunya Nisa. Tapi ingat, Nisa harus berobat juga."

Aku hanya mengangguk lemah, lalu beranjak dari dudukku meninggalkan tante Melia. Aku ingin sendiri saat ini.

















Sendiri dalam keterpurukan!

















Jangan lupa vote dan komen!

Jemput Aku, Tuhan [OPEN PO]Where stories live. Discover now