28 - Bintangku Mulai Redup

2.5K 512 58
                                    


"Relakan dengan ikhlas, maka hatimu tak akan hancur."



















Sekarang, semua terdiam. Duduk merenung sembari memohon agar Tuhan segera membangunkan Aldi. Aku, Dokter Arnold, bahkan paman dan tante hanya bisa berdoa. Semoga ada keajaiban yang datang pada Aldi.

Jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam, mataku terasa berat sekali. Namun, kutahan hanya untuk menunggu Aldi bangun dan tersenyum kembali.

Beberapa kali aku hampir kehilangan keseimbangan karena mengantuk. Diam-diam ternyata paman Haris melihatku. "Melia, bawa dia pulang ke rumah. Aku akan menyusul nanti," ucap paman Haris.

Tante Melia langsung mengajakku untuk pulang dan juga Koko. Sedangkan paman Haris dan Dokter Arnold selalu stay untuk melihat perkembangan Aldi.

"Ini yang sudah saya khawatirkan, tapi apa boleh buat. Aldi sudah mengambil keputusannya sendiri," kata Dokter Arnold, terduduk di samping Haris.

"Terus, bagimana, Dok?"

Dokter Arnold menoleh, mengusap wajahnya. "Kita tinggal menunggu keajaiban dari Tuhan."

Di sisi lain, aku bahagia karena rumahku sudah kembali. Namun, di sisi lain aku khawatir akan kondisi Aldi sekarang.

"Nisa, istirahatlah, biar tante bawa Koko ke kamarnya," ucap tante Melia. Koko pun dirangkul oleh tante Melia masuk ke kamar tamu.

Akupun langsung masuk ke kamar. Rasanya sudah lama aku tidak merasakan nyamannya ruangan istimewa ini. Ruangan di mana aku sering dibangunkan ibu, dan selalu dinasehati ayah ketika sedang marah.

Ah, aku bahkan lupa. Kapan terakhir kali mereka mengunjungiku, aku merindukan sosok kehangatan dari keluarga dulu. Namun, sayang Tuhan sudah merenggut segalanya.

"Astagfirullah." Kuusap dadaku dengan lapang. Semuanya adalah takdir dan aku tidak boleh menentang itu semua.

Kurebahkan tubuhku di atas spirngbad dengan badcover stitch kesukaanku. Rasanya begitu damai, perlahan kupejamkan mataku untuk segenap melupakan rasa cemas dan panik.

****

"Nisa, bangun, sayang." Sentuhan lembut nan hangat itu membuat tidurku terusik dan perlahan membuka mata.

"Tante, Koko!" Kulihat jam yang menggantung di dinding. Ini masih sangat pagi sekali, ya. Pukul 05.45.

"Nisa tarik napas dulu, setelah itu cuci muka. Ada sesuatu yang ingin tante katakan, tante tunggu kamu di ruang makan. Kita sarapan sama-sama." Tante Melia mengusap puncak kepalaku, lalu beranjak keluar dari kamar.

Aneh. Perasaanku mendadak tidak enak melihat kedatangan tante Melia pagi-pagi ke kamar. Terlebih lagi, dia seperti tidak bersemangat. Koko? Dia hanya diam. Apa sebenarnya yang terjadi?

Segera kulangkahkan kakiku ke kamar mandi, dan mulai mencuci muka. Lalu, aku beranjak ke ruang makan untuk sarapan pagi yang pertama kali dengan jam yang masih sangat pagi.

"Tante, mau ngomong apa?" Aku mengambil nasi goreng dan beberapa potong telur dan daging ayam.

"Mengenai, Aldi."

Aku berhenti, saat tante Melia menyebut Aldi. Perlahan aku mendongkak menatap wajah tante Melia yang terlihat murung. "K-kenapa dengan dia?"

"Tadi, pamanmu menelpon. Katanya, kondisi Aldi semakin parah. Dan dia masih belum sadarkan diri sejak kemarin kita membawanya ke rumah sakit," jelas tante Melia.

Jemput Aku, Tuhan [OPEN PO]Where stories live. Discover now