18 - Tidurlah, Aldi.

2.9K 557 112
                                    

H A P P Y  R E A D I N G

















Setelah dokter memberi suntikan pada Aldi, dia terlihat sedikit tenang dan membaik. Setidaknya aku tak melihat ia menderita melawan semua sakit.

"Bagaiaman, dokter?" tanyaku, cemas akan kondisi Aldi sekarang.

"Sebaiknya, Aldi dibawa ke rumah sakit agar bisa ditangani oleh Dokter ahlinya. Karena kankernya ini sudah sangat parah, dan saya lihat juga. Kankernya semakin menyebar ke organ pentingnya."

Ya Tuhan, separah itu kah? Dokter Arnold bahkan belum pernah mengatakan kondisiku separah itu. Namun aku, selalu menjalani terapi setiap minggu. Lalu, bagimana dengan Aldi yang sudah parah?

"Suntikan yang kami berikan hanyalah untuk meredakan rasa nyeri dan sakitnya, tapi kemungkinan besar penyakitnya akan kambuh lagi dan semakin parah. Untuk saat ini, jangan biarkan dia melakukan aktivitas berat," jelas dokter, lalu pamit untuk pulang.

Kulihat, Koko dan Nenek menangis di samping Aldi. Aku juga tak kuasa menahan isak tangisku yang tertahan. Aldi adalah sosok pejuang yang hebat, ia bahkan rela sakit demi memenuhi kebutuhan adik dan neneknya.

"Nek, istirahatlah. Biar Nisa yang jagain Aldi," ucapku memegang pundak nenek. Aku tak tega melihat wajahnya yang sudah lelah.

"Justru yang harus istirahat, Nak Nisa. Jangan begadang," ucap nenek.

Aku menggeleng pelan, berusaha tersenyum pada nenek. "Nisa akan di sini, nenek istirahat. Tubuh nenek itu sudah lelah."

"Iya, Nek. Ayo kita tidur," ucap Koko membenarkan ucapanku.

Akhirnya, setelah saling menyuruh satu sama lain, Nenek pun menyerah dan mengikuti saranku. Lalu Koko membawanya untuk istirahat di kamar sebelah.

Kutatap wajah Aldi. Dia sangat pucat, tidak ada ketenangan di sana yang ada hanya rasa sakit yang tertahan. Aku tau, selama ini dia pasti bersusah payah menutupi semuanya.

Aku belajar banyak darinya.

Kita tidak perlu memperlihatkan kelemahan kita untuk dikasihani, tapi kita harus menujukkan bahwa kita kuat. Hingga datang seseorang yang benar-benar tulus. Seorang sahabat.

Besok pagi, aku harus bertemu paman Haris. Aku tidak mau terlalu membebani Aldi, dan aku harus pergi secara diam-diam tanpa sepengetahuannya.

"Tidurlah, Aldi. Besok pagi, aku akan pergi dan tidak akan menyusahkan kamu lagi," ucapku, dengan mata yang berkaca-kaca.

****

Kelopak mataku terasa berat sekali, tapi tetap kucoba untuk bangun. Kulirik jam yang melingkar di tanganku, pukul empat pagi. Sebelum semuanya bangun aku langsung merapikan semua barang-barangku. Tak lupa kutinggalkan surat untuk mereka, agar nantinya tidak khawatir denganku.

Kulihat Aldi, ia masih terlelap. Pasti sakit sekali saat berjuang kemarin. Aku harap dia bisa sembuh, dan kembali ceria seperti Aldi yang kukenal.

Kuraih tasku, lalu beranjak keluar kamar. Sebelum pergi, aku melihat Nenek dan Koko lebih dulu. Dan ternyata mereka masih tidur, berarti semuanya aman.

Aku mulai melangkah melewati jalan setapak, hari bahkan masih gelap sekali. Dengan mengandalkan penerangan dari ponselku, aku tidak kesusahan untuk melihat.

Sudah hampir jauh aku meninggalkan rumah Aldi, tapi kenapa rumah paman masih belum terlihat juga. Padahal saat aku kemari, itu sangat dekat sekali.

Atau, karena aku terlalu serius berbicara bersama Aldi?

Oh tidak. Ini salahku, ternyata rumah paman Haris memang berjarak dua kilo meter dari rumah Aldi. Buktinya sampai sejauh ini aku belum melihat rumah paman.

Jemput Aku, Tuhan [OPEN PO]Where stories live. Discover now