19 - Ikrar Sahabat

3K 523 63
                                    

H A P P Y  R E A D I N G











Setelah selesai membantu paman Haris. Sore ini, aku dan Aldi jalan-jalan menyusuri bibir pantai yang terbentang luas. Deburan ombak menambah kesan nyaman tersendiri bagiku.

Aku baru tau, kalau di desa ada pantai seindah ini. Angin sepoy, kelapa yang berjejer, kicauan burung yang beterbangan dan deburan ombak, serta pasir putih yang cantik. Sempurna.

"Kok aku baru tau, kalau di sini ada pantai?" tanyaku pada Aldi. Aku merasa ini seperti mimpi.

"Makhlum pantainya malu ketemu sama pendatang baru, makanya dia pingit beberapa hari."

Tawaku langsung pecah bersamaan dengan lepasnya sapuan ombak di bibir pantai. Entahlah, tapi perkataan Aldi terasa aneh dan lucu menurutku.

"Mau lihat pohon persahabatan?" Aldi menawarkanku sesuatu yang baru.

"Pohon persahabatan? Emang ada?" tanyaku. Aku tak begitu percaya dengan ucapan Aldi.

Tanpa menjawab pertanyaanku lagi, Aldi langsung menarik tanganku menyusuri bibir pantai. Kami terus melangkah, hingga terhenti di depan sebuah pohon besar.

Aku takjub sekaligus tak menyangka. Setelah sekian lama ingin melihat rumah pohon, akhirnya hari ini bisa terwujud. "Wah! Ini rumah pohon, siapa yang buat?" tanyaku, sembari mengelilingi pohon besar itu.

Unik sekali, banyak ukiran nama yang tertera di batangnya. Rumah pohonnya bahkan tak kalah unik, di sana terlihat jelas banyak hiasan menggantung yang terbuat dari kertas origami.

Aku ingat sekali. Aldi suka membuat hiasan seperti itu, aku menoleh pada Aldi. Dia sudah tidak ada di sana.

"Ayo naik!" teriaknya dari atas.

Aku langsung bersemangat sekali, dan langsung menaiki satu-persatu anak tangga itu. Aku cukup gemetar karena baru pertama kali mencoba menaiki rumah pohon setinggi ini.

Saat tiba di atas rumah pohon, mataku berbinar melihat bentangan pantai dengan pasir putih.

"Indah," lirihku takjub.

"Di sini, tempat para sahabat membuat ikrar persahabatan mereka," ucap Aldi, membuatku kembali penasaran.

"Ikrar? Ikrar bagaimana?" tanyaku.

"Sebentar."

Aldi berjalan menghampiri sebuah kotak yang terbuat dari kayu, lalu membuka kotak itu dan mengeluarkan sebuah kertas origami dengan dua warna yang berbeda. Setelah itu, ia kembali menghampiriku.

"Ambil ini, tulis apa yang kau inginkan," ucapnya. Memberiku kertas origami berwarna biru muda serta pensil lucu berwarna kuning.

"Tentang sahabat?" tanyaku lagi.

Aldi mengangguk, ia sudah fokus pada kertas origami miliknya yang berwarna hijau serta pensil yang menari diatasnya dengan lincah.

Akupun menulis semua keinginanku, seperti yang dikatakan Aldi. Tentang persahabatan kami berdua.

Aku harap, kita berdua bisa sembuh sama-sama. Dan kembali bersahabat dan bertemu tanpa ada kecemasan.

Itu adalah janji dan harapanku.

"Apa yang kau tulis?" tanyaku penasaran, sembari melihatnya agak dekat.

Sontak saja Aldi menutup kertas origami dengan tangannya. "Jangan lihat, kamu boleh lihat ini. Setelah liburan berakhir nanti. Begitupun aku," ucapnya.

Baiklah. Aku mengangguk malas, dan mulai melipat kertas origamiku, kusulap menjadi sebuah kupu-kupu cantik berwarna biru.

Kulihat Aldi, ia masih sibuk mencoba menyulap keras origami itu. Enthalah, aku bahkan bingung apa yang sedang ia buat.

Lalu, beberapa menit kemudian jadilah hasil tangan Aldi. Sebuah bunga tanpa ada kelopak daunnya.

"Kenapa harus bunga? Kan burung lebih cantik," protesku tak suka.

"Kamu kan kupu-kupu, jadi aku buat bunga," ujarnya membela diri.

Dahiku mengerut, hingga terlihat beberapa lipatan kecil di sana. Aku tidak mengerti setiap kalimat yang keluar dari mulut Aldi.

"Bunga dan kupu-kupu itu melakukan simbiosis mutualisme. Sama kaya kita berdua," ucapnya disertai senyuman khas itu lagi.

Oke. Lagi, dia mengeluarkan jurusnya yang selalu menghias ucapannya dengan kata-kata aneh menurutku.

Setelah menggantung karya masing-masing, kami pun bergegas untuk kembali ke rumah karena hari mulai sore. Takutnya paman Haris akan cemas denganku.

Sepanjang jalan, kami bercanda gurau. Membicarakan harapan dan cita-cita satu sama lain. Saling bertukar pengalaman seru di masa-masa SD dan SMP.

Hingga saking asyiknya, kami tak sadar sudah berada di depan rumah paman Haris. Aldi segera mengambil sepeda kesayangannya, dan tak lupa pamit pada paman Haris.

"Hati-hati di jalan," ucapku, sebelum ia pergi.

"Oke. Sampai berjumpa besok lagi," ucapnya melambaikan tangan, serta senyuman simpul yang begitu khas.

****

Aku kagum dengan paman Haris, dia benar-benar menjamin hidupku. Dengan susah payah ia mencoba semua resep masakan ibu untukku.

"Paman, emang gak ribet buat semua ini?" tanyaku.

"Tentu saja tidak, kalau kita ikhlas semuanya akan terasa menyenangkan saja," ucapnya, lalu kembali fokus pada makanan.

Aku pun kembali menikmati makan malam ini, dan kembali terlintas jalan-jalan sore tadi. Itu sangat menyenangkan dan indah, aku ingin mengulangnya lagi.

"Kamu pacaran, sama Aldi?"

Pertanyaan paman Haris seketika membuatku tersedak, dan batuk hebat hingga mengeluarkan air mata. Tanpa banyak kata paman Haris memberiku segelas air hangat.

"Kalau makan hati-hati." Dia menegurku, padahal ini salahnya.

"Paman sih, pertanyaannya aneh," rengekku sedikit kesal.

"Tapi kalian itu dekat sekali ya, cocok gitu kalau sama-sama," goda paman Haris, membuatku semakin kesal dan tidak mood untuk makan lagi.

"Nisa sama Aldi itu murni sahabatan, tanpa melibatkan perasaan lebih. Lagian, kalau pacaran itu hanya buang-buang waktu saja. Kalau sahabatan bisa bahagia kenapa harus pacaran lagi, bikin ribet," ujarku, mencoba menjelaskan semuanya agar paman Haris tidak berkata macam-macam tentangku dan Aldi.

Paman Haris tersenyum simpul sambil mangguk-mangguk. Lalu kembali menikmati makan malam. Sedangkan aku kembali diam, tak ingin membahas soal yang tidak penting itu.

"Tapi kamu harus ingat, semua cowok itu normal. Tidak ada sahabatan antara cowok dan cewek, yang ada mah terjebak friendzone," lanjut paman.

Sontak saja aku tertawa geli mendengarnya, tidak menyangka paman Haris bisa berkata-kata seperti anak muda. Ah, aku ingat. Vivi selalu mengatakan dirinya terjebak friendzone dengan ketua osis, itu terdengar menggelikan sekali bagiku.

"Sudahlah, Nisa mau istirahat. Paman kayak anak muda aja, mengerti segala hal," ucapku disertai tawa kecil. Sedangkan paman Haris hanya bisa tersenyum kecut karena merasa malu.

"Ingat ya, Nisa. Cowok itu normal, pasti selalu ada perasaan lebib," ucap paman Haris lagi, ketika aku memasuki kamar.

"Aldi gak kayak gitu!" teriakku.

Aku berbaring, menatap langit-langit kamar yang kosong. Aku selalu berpikir kenapa anak remaja zaman sekarang harus pacaran? Bukankah berteman lebih baik?

Persahabatan itu ikatan suci pertemanan, tidak baik jika dinodai dengan hubungan tidak berfaedah sama sekali. Jika bersahabat bisa membahagiakan hari-hari, kenapa harus pacaran?




















T O  B E  C O N T I N U E D 

Jemput Aku, Tuhan [OPEN PO]Where stories live. Discover now