8 - Aku Benci!

3.5K 633 33
                                    

H A P P Y  R E A D I N G























"AKU BENCI, ALDI!"

    
Saat memasuki kelas, aku langsung disambut teman-teman. Berbagai macam ungkapan sedih mereka ucapkan untukku.

"Sa, turut berduka cita ya."

"Yang kuat ya, Nisa."

"Sabar, Tuhan sayang sama ayah kamu."

"Kamu harus kuat."

"Turut berduka cita, Nisa. Semoga ayah kamu diterima di sisinya."

"Pada dasarnya, semua yang bernyawa akan mati. Turut berduka cita."

Vivi dan yang lainnya langsung memelukku disertai nasehat dan semangat. Mereka tau, yang aku butuhkan saat ini adalah penyemangat dan pelukan.

Mataku yang semula kering kembali basah lagi karena air mata, aku belum bisa ikhlas atas kepergian ayah yang mendadak.

Mataku seketika tertuju pada meja Aldi. Kulihat, dia duduk tenang sembari membaca buku. Aku ingin berterima kasih padanya, coba saja dia tidak mengantarku. Mungkin aku tak tau lagi harus apa di jalanan sore-sore.

Namun, otakku menolak dan berkata Aldi adalah musuh, saingan, dan dia yang telah merebut kebahagiaanku. Tidak, aku tidak akan berterima kasih padanya.

"Duduk dulu, tenangin diri kamu," ucap Sinta, khawatir. Walaupun kemarin ia sudah kasar padaku, tapi dia tetap khawatir.

"Nih minum dulu, biar gak dehidrasi," ucap Gea memberikanku sebotol air hangatnya.

"Iya, Nis. Jangan banyak pikiran, nanti kamu kambuh lagi," ucap Mutiara ikut khawatir.

"Benar, Nis. Teman-teman benar, kamu jangan banyak pikiran ya. Fokus sama kesembuhan kamu, tenang aja ayah pasti sudah tenang di sana," ucap Vivi mengelus punggungku.

Aku langsung merentang tangan, memeluk mereka semua. Aku beruntung mempunyai teman seperti mereka, sekaligus sahabat seperti Vivi.

Beberapa menit kemudian bel pelajaran pun berbunyi, kami pun bergegas ke tempat masing-masing untuk menyambut guru masuk.

****

"Nisa, tunggu!" Suara teriakan itu membuat langkahku terhenti, perlahan berbalik ke belakang. Kulihat Aldi sedang menghampiriku dengan napas terengah-engah.

"Kalau gak penting, mending gak usah," ucapku langsung.

Aldi terlihat mengatur napasnya lebih dulu, lalu detik kemudian ia tersenyum padaku walau aku sudah kasar padanya.
"Turut berduka cita, dan maaf gak pamit pulang sama kamu."

"Oh. Udah, segitu aja?"

Aldi langsung terdiam, tersenyum getir melihatku. Namun bodohnya ia malah tetap mengikuti berjalan ke taman sekolah.

"Kamu bisa gak sih, gak usah ikutin aku?" Langkahku terhenti.

"Kamu bisa gak, berucap sesuatu atas kejadian kemarin?" Aldi malah balik bertanya.

Aku tersenyum miring, mengangguk paham apa yang dia maksud dengan kejadian kemarin. "Terima kasih, udah kan. Jadi jangan ikutin aku lagi," ucapku penuh penekanan.

Aku pun meninggalkannya yang masih diam mematung di tempatnya. Aku bodo amat, jika dia sakit hati terserah saja. Lagian, kemarin aku tidak minta dia untuk mengantarkan ku pulang. Dia saja yang memaksaku untuk tetap ikut dengannya.

Jemput Aku, Tuhan [OPEN PO]Onde histórias criam vida. Descubra agora