7 - Aldi

3.5K 673 41
                                    

"Sebagian part ini sudah saya hapus karena ada sedikit kesalahan."

Kupandang tubuh ayah yang terbaring kaku, dengan kain sarung yang menutupi wajahnya. Entah sudah berapa banyak air mata yang keluar, tapi tetap tak bisa mengurangi rasa sesak.

Dulu, saat aku telat pulang. Ayah adalah orang yang paling khawatir, saat aku tak mau kemoterapi ayah orang pertama yang marah. Saat ibu sakit, ayah orang pertama yang super sibuk di dapur. Dan saat aku ingin menyerah, ayah orang pertama yang membangkitkan semangatku.

Ayah, dia pahlawanku. Dia memang tak sekuat ibu yang mengandung selama sembilan bulan, tapi dia adalah orang yang paling bertanggung jawab. Membanting tulang siang dan malam, tidak mengerti kata lelah.

'Ayah, kenapa harus ayah? Kenapa tidak Nisa saja? Ayah tau, Nisa tidak kuat menerima semua ini.'

Kulihat di sampingku, ibu sudah terlelap. Mungkin ia juga merasakan yang sama denganku. Kulirik jam yang menggantung di dinding, hampir pukul dua belas malam.

Beberap orang masih terbangun membaca surat yasin untuk ayah. Yang kupikir hanyalah bunga mimpi ternyata tidak, ayah benar-benar telah meninggalkanku dan ibu.

'Jika Nisa diberi pilihan, Nisa ingin. Ayah kembali hidup, dan Nisa yang pergi. Agar tidak membuat ayah lelah bekerja setiap hari, demi pengobatan Nisa.'

Sekali lagi, isak tangisku pecah. Jika kuingat bagaimana pengorbanan ayah. Itu sangat memilukan dan menyayat hatiku. Seribu satu macam pekerjaan ayah lahap, yang terpenting ia bisa mendapat lembaran uang demiku.

'Maafin, Nisa. Yang belum bisa membahagiakan ayah."

Kupeluk tubuh kaku ayah, lalu kupejamkan mataku.

****

Aku duduk bersimpuh di samping gundukan tanah yang baru saja ditaburi bunga kamboja dan siraman air. Tak ada lagi air mata, semua sudah kehendak Tuhan. Yang kulakukan hanya bisa ikhlas atas kepergian ayah.

"Ayah, Nisa akan berdoa sama Allah. Supaya ayah, ditempatkan di sisinya yang paling terbaik. Nisa janji, Nisa akan bangkit dari keterpurukan ini. Nisa akan sembuh dan buktikan sama ayah, kalau Nisa bisa sukses."

Kuusap air mataku yang tiba-tiba mengalir. Sekuat apapun aku menyembunyikan kesedihan, air mata yang akan menujukkan betapa rapuhnya aku tampa Beliau.

Setidaknya, aku sudah ikhlas. Membiarkan ayah tenang di alam sana.

"Nisa, kita pulang ya, sayang."

Sentuhan lembut ibu membuatku teringat lagi pada kenangan terkahir ayah, malam itu ia memelukku disertai linangan air mata. Aku tak mengerti apa maksud dari itu semua.

"Ayo sayang, nanti Nisa bisa kambuh," ucap ibu memperingatiku.

Aku pun berdiri, membersihkan sisah tanah yang menempel di rok. Beberapa menit kutatap batu nisan ayah. Perlahan aku membungkuk, kucium batu nisan itu dengan air mata yang tiba-tiba luruh.

'Selamat tinggal, ayah. Nisa akan kembali ke sini lagi.'

























Jika kau masih memiliki ayah, sayangilah dia. Peluk dia, seperti kau memeluk ibumu. Karena sejatinya, tidak ada yang lebih membahagiakan selain memeluknya dengan kasih.

























T O B E C O N T I N U E D.

Jemput Aku, Tuhan [OPEN PO]Where stories live. Discover now