12. BERCENGKRAMA

338 244 245
                                    

Malam ini terasa menenangkan. Dengan ditemani segelas kopi hangat, kedua remaja itu duduk di sofa sambil menonton televisi.

Arum menghela napas, mulai merasa bosan. "Tidak seru, ya?" tanyanya. Namun tidak dijawab oleh Jaebeom. Cowok itu masih terus menatap lurus ke depan. Padahal tatapannya terlihat kosong. Arum yakin cowok itu tidak benar-benar menonton televisi.

Arum memegang pundak Jaebeom, menyadarkan cowok itu dari lamunannya. "Kau sedang memikirkan sesuatu?"

Jaebeom tersenyum tipis lalu menggeleng. "Apa yang harus dipikirkan?" tanya balik Jaebeom. Cowok itu menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa.

Sejujurnya, Jaebeom memang sedang bergelut dengan pikirannya. Bisa dibilang, ia sedang memikirkan Arum. Ia berpikir, kenapa banyak sekali orang yang berusaha menganggu gadis mungil itu? Ibu tirinya dan Dae Hwan. Tujuan mereka menganggu Arum, namun malah Jaebeom yang merasa sangat terganggu karena keduanya.

"Wanita itu tidak akan mengganggumu lagi, kan?" tanya Jaebeom.

Arum mengangkat kedua bahunya, tidak tahu. Ia pun berharap wanita itu tidak lagi mencarinya. Arum juga berharap Kim-ssaem dapat mengetahui kebenarannya.

"Semua yang kau bicarakan di ruang konseling tadi." Jaebeom menggantungkan ucapannya, lalu menatap Arum dengan ragu. Ia takut membuat Arum tersinggung, namun rasa penasarannya sungguh tidak bisa ditahan lagi. "Apa semua itu benar?"

"Tentang keluargaku?" tanya Arum. Jaebeom mengangguk. "Benar. Wanita itu menghancurkan keluargaku. Ayahku dibunuh olehnya empat tahun yang lalu," ungkap Arum terang-terangan.

"Kenapa?" tanya Jaebeom.

Arum menggeleng pelan. Bukannya Arum tidak ingin memberitahu semuanya. Hanya saja ia takut, jika seseorang mengetahui kebenarannya, orang itu akan menjauhi Arum.

"Aku rasa bebanmu belum sepenuhnya terangkat," kata Jaebeom, menatap Arum dengan serius. "Ada sesuatu yang kau tutupi, kan?"

"Ya, memang ada," jawab Arum dengan cepat. "Aku hanya takut kau menjauhiku jika kau tahu kebenarannya."

Jaebeom tersenyum. Tangannya terulur mengusap puncak kepala Arum. "Jangan cemas. Aku tidak akan menjauhimu."

Arum menghela napas dalam-dalam. Walau merasa tidak yakin, setidaknya Arum harus mencoba sekali saja untuk bercerita.

"Ayahku seorang pembunuh." Satu kalimat yang mampu membuat Jaebeom bergeming. Tangannya berhenti mengusap puncak kepala Arum. Dengan tatapan terkejutnya ia terus menatap Arum.

"Ayahku ketua gangster dulu. Setiap malam ayahku selalu mabuk bersama anggotanya. Dalam waktu sepekan, pasti ada saja seseorang yang meninggal karena ayahku atau anggotanya. Namun, mereka terlalu cerdik untuk menutupi buktinya."

Jaebeom masih terus terdiam. Ini terlalu mengejutkan baginya.

"Suatu malam ayahku sedang mabuk berat. Anggotanya membawa ayahku ke sebuah motel, tempat wanita itu bekerja dulu. Mungkin, malam itu ayahku berbuat yang tidak-tidak. Saat wanita itu mengantar pesanan makanan ayahku, ayahku hilang kendali hingga memperkosanya di kamar itu. Suami wanita itu datang, memergoki mereka dan akhirnya berkelahi dengan ayahku."

Napasnya mulai menderu. Sesak di dadanya begitu terasa. Arum menunduk dalam-dalam. Menyiapkan hati untuk cerita lebih dalam mengenai ayahnya.

"Ayahku benar-benar kalut malam itu. Dia menghabisi nyawa suami wanita itu. Karena tidak terima suaminya meninggal dengan cara dibunuh, wanita itu akhirnya membalas perbuatan ayahku. Dia membunuh ayahku malam itu juga."

BAD [Lim Jaebeom] ✓Where stories live. Discover now