LLS 29

2.8K 158 25
                                    


Pagi itu langit terlihat begitu cerah, berbanding terbalik dengan perasaan dan keadaan Sabrina yang terlihat tidak baik.

Sabrina sedang berdiri di balkon kamarnya, gadis itu menatap kosong ke depan dengan wajah yang sedikit pucat karena semalaman tidak tidur. Kejadian kemarin sore membuatnya terjaga sepanjang malam bahkan wajah terluka Arga terus terbayang di kepalanya seakan tidak ada hal lain yang dapat ia pikirkan.

Sabrina menarik nafas dalam pertanda gadis itu benar-benar merasa lelah dengan keadaan yang harus di hadapi. Semua cara telah ia lakukan, dari mulai mencoba membenci, menjauh, bahkan memulai hidup baru dengan harapan ia bisa melupakan Arga namun yang terjadi justru sia-sia tidak ada satu pun yang berhasil. Jangankan untuk melupakan Arga, bahkan untuk menghapus nama pria itu dari ingatannya pun Sabrina tak bisa entah sudah sejauh apa ia terjebak dalam perasaannya terhadap Arga.

Hari pernikahannya hanya tinggal menghitung hari tetapi sampai detik ini Sabrina bahkan belum juga berhasil menyingkirkan Arga dari hidupnya. Rasanya Sabrina ingin menangis dan berteriak bahwa ia lelah dengan semua ini dan ia tidak bisa lagi melukai Arga lebih jauh lagi, ia benar-benar tidak bisa menjauhkan nama pria itu dari hidupnya, benar-benar tidak bisa karena nama Arga selalu memiliki tempat di hatinya.

Di saat-saat terberat di dalam hidupnya Sabrina justru harus melaluinya seorang diri tanpa adanya sosok kedua orang tuanya yang ia harapkan bisa menemani. Ingin rasanya Sabrina berlari ke dalam pelukan sang Papa dan berkata bahwa ia lelah, ia ingin menyerah saja. Lalu ia juga ingin mengeluh kepada sang Bunda tentang bagaimana beratnya hidup yang harus ia jalani setelah menjadi dewasa. Tetapi semua itu hanyalah angan-angan semata yang tidak mungkin terwujud.

Setetes air mata kembali lolos dari mata Sabrina dan gadis itu tidak berniat untuk menghentikan air matanya yang mengalir karena ia merasa air mata itu memang pantas untuk keluar mewakili perasaan yang benar-benar hancur.

"Sabrina,"

Suara sendu yang memanggil namanya dan sentuhan lembut di pundaknya membuat Sabrina tersadar dari lamunnya. Dan betapa terkejutnya Sabrina ketika mendapati Airin yang sudah berdiri di sampingnya dengan tatapan sendu yang di arahkan kepada dirinya.

Dengan buru-buru Sabrina menghapus air matanya, karna ia tidak mau terlihat lemah di depan ibu tirinya itu. Padahal semua orang pun tau betapa terlukanya Sabrina saat ini walaupun gadis itu berusaha untuk menutupinya.

"Kenapa tante gak ketuk pintu kamar aku dulu?" tanya Sabrina pada Airin.

Airin yang di lontarkan pertanyaan itu hanya dapat tersenyum simpul, seraya mengusap lembut kepala Sabrina. "Tadi mama udah ketuk tapi kamu gak jawab-jawab, mama jadi khawatir takut kamu kenapa-napa jadi mama putusin buat masuk dan kebetulan pintu kamar kamu gak terkunci."

"Maaf, tadi aku gak denger." ucap Sabrina merasa tidak enak karena sudah membuat Airin khawatir.

"Kamu gak perlu minta maaf sayang, kamu gak ngelakuin kesalahan apapun kok."

Suasana berubah menjadi hening dan canggu hingga di detik berikutnya Airin melontarkan sebuah pertanyaan yang memecahkan suasana yang tidak nyaman itu.

"Kamu gak tidur semalaman?"

"Tidur kok, cuma aku bangun lebih awal aja." balas Sabrina yang jelas berbohong dan Airin tau akan hal itu.

Airin kemudian kembali diam karena ia tau bahwa Sabrina tidak ingin membagi dan menceritakan apapun kepada dirinya.

"Oh iya, tante ada apa dateng ke kamar aku?"

"Mama cuma mau kasih tau kamu kalo Sean lagi nunggu kamu di bawah, dia bilang kalo dia hari ini harus balik ke Paris."

"Kok Sean gak nelfon aku dulu," ucap Sabrina bertanya-tanya karena tidak bisanya Sean melakukan hal itu.

Lost love story Where stories live. Discover now