FP ✿✿Maaf✿✿

202 32 0
                                    

Adin kini sudah berhadapan dengan Papa nya di kantor IL Kwang Bandung. Ia sudah mengambil keputusan bulat untuk memberi pelajaran pada Melodi. Walau mungkin bisa dikatakan Adin jahat karena sudah mengambil keputusan ini, tapi apa boleh buat? Adin melakukan ini demi Mika, ia tidak ingin sahabatnya terus diganggu oleh cewek sialan itu.

Bagi Adin, kelakukan gila yang sudah dibuat Melodi sebanyak tiga kali tidak bisa didiamkan begitu saja. Jika ia tidak mengambil tindakan, maka Adin yakin Melodi akan berbuat lebih parah dari sekarang.

Adin kira Melodi tidak akan membuat masalah lagi dengan Mika, ternyata pemikiran Adin salah. Angka dua bagi Adin sudah terlalu banyak. Jangan sampai Melodi melakukan kegilaan lagi pada Mika karena obsesinya untuk memiliki Kak David. Lagi pula jika Kak David tidak menyukai Mika, mana mungkin Kak David menyukai cewek sinting seperti Melodi yang sifatnya sudah seperti Nenek lampir.

"Ngapain kamu datang kesini?" tanya Iwan merasa aneh.

"Adin_Adin mau tau karyawan Papa yang bernama Ridwan kerja dibagian apa?" tanya Adin dengan kedua alis menaut.

Iwan sedikit mengerutkan dahi. Kenapa pula Adin menanyakan hal itu, sangat diluar dugaan. "Ada keperluan apa?"

Adin meremas rok-nya kuat-kuat, menerima tatapan menelisik dari Iwan membuat keberanian Adin menyusut. Adin memang paling taku pada Papa nya sendiri. "Adin pengen Papa pecat dia dari kantor ini."

"What is the problem?" tekan Iwan dengan suara tinggi.

"Because Adin was bullied by his son at school."

"Really?" Iwan masih terheran-heran dengan alasan yang Adin berikan. Balasan Adin hanya menganggukkan kepala. Iwan menarik napas pendek, melihat Adin dengan seksama. "Nggak semudah itu memecat seorang karyawan."

"Selama dia bekerja disini pun dia nggak pernah melakukan kesalahan."

"Very strange suddenly stopping him from working." Ucap Iwan masih dengan nada suara berat.

Adin menyandarkan tubuhnya, menyapu sekeliling ruangan tempat Papa nya bekerja lalu menyilakan kedua tangan—mengambil napas panjang dan berdecak pelan. "Bantuin Adin kali ini aja." Paksanya memohon.

"Enggak."

"Papa."

"Lebih baik kamu pulang." Suruh Iwan sambil bangkit dari tempat duduk. "Papa ada meeting."

Adin menjejakkan kaki sebal, memilih untuk tetap diam sampai Papa nya berubah pikiran.

"Mau kamu apa?" tanya Iwan lagi saat anaknya masih enggan untuk beranjak dari tempatnya duduk.

"Adin hanya ingin Papa melakukan itu. Apa sulitnya sih." Kini Adin mengubah posisi duduknya. "Papa pengen Adin terus menerus di ganggu di sekolah?"

"Papa beneran nggak mau bantuin Adin?" tanyanya dengan satu alis terangkat.

Tidak ada jawaban dari Iwan, ia hanya menghela napas panjang sebanyak dua kali. Kembali melihat anaknya yang masih setia dengan tempat singgahnya.

"Baiklah." Adin bangkit dari tempat duduk, melihat Papa nya dengan tatapan bengis. Tidak ada untungnya juga ia terus berada disini. Adin sudah salah besar menaruh harapan. "Adin nggak akan minta bantuan dari Papa lagi!" Tukasnya sambil keluar dari dalam ruangan dengan penglihatan sudah buram karena genangan air mata.

Adin segera menghapus air matanya sebelum tumpah membasahi pipi, ia tidak akan menangis—lebih tepat nya tidak menangis ditengah jalan seperti sekarang. Kini Adin merasa sendiri, ia tidak tahu harus pergi kemana. Kakinya terus melangkah kemana arah angin membawanya dengan tatapan kosong serta pikiran ntah memikirkan apa.

Farmasi & Perawat Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz