FP ✿✿Mengikhlaskan✿✿

234 32 0
                                    

Jesika memberanikan diri untuk menemui Mika setelah berpikir semalaman. Jesika benar-benar yakin akan melakukan hal yang seharusnya ia lakukan sejak dulu. Jesika sudah memutuskan matang-matang mengenai hal tersebut. Keputusannya sudah bulat. Terima tidak terima, ikhlas atau tidak ikhlas, Jesika tetap harus melakukannya. Walau ada rasa sesak didalam dada, namun Jesika harus bisa melakukannya!

Pagi hari ketika matahari masih malu-malu untuk memancarkan sinarnya. Jesika sudah berada didepan rumah Mika dengan keringat dingin membasahi tubuh. Kedua tangannya terus mengepal erat, ia gelisah sekaligus malu.

Saat Jesika akan menekan bel, dari dalam rumah ada suara langkah kaki mendekat. Jesika langsung menjauhkan diri dari sana. Mengatur napas supaya tenang dan menetralisir degup di jantungnya yang makin meningkat.

Aku bergegas pergi menuju rumah Adin untuk berangkat bareng. Namun saat aku menutup pintu depan, aku melihat ada seseorang yang bersembunyi disalah satu pilar. Kedua alisku menaut karena heran, aku seperti mengenal orang itu.

Tanpa ragu aku mendekat dengan langkah kaki sangat pelan. Aku bersembunyi dibelakang tubuhnya. Ternyata dia Jesika. Aku tersenyum lebar, dengan kedua mata membulat. Aku tidak percaya. Jesika berada di hadapanku. Aku terus tersenyum sampai melupakan tujuan awalku yang akan mengejutkannya. Malah Jesika yang mengejutkanku dengan berteriak histeris saat membalikkan badan.

"AAA!!!" teriak Jesika ketika melihat Mika berada tepat dibelakangnya. Jesika membungkam mulutnya sendiri yang masih menganga tidak percaya, ia tidak tahu kapan Mika mendatanginya.

Aku memejamkan mata dengan kedua tangan menutupi telinga. Teriakan Jesika terdengar sangat melengking hingga telingaku terasa sakit.

"Nga-ngapain lo disini?" tanya Jesika panik.

Aku kembali membuka mata, lalu menurunkan kedua tangan yang kini beralih memegangi pinggangku. "Bukannya aku yang seharusnya nanya pertanyaan itu?" menaikkan sebelah alis, dengan tatapan curiga.

Jesika gelagapan, ia bingung ingin mengatakan apa. Rangkaian kata demi kata yang ia sudah susun dengan rapih seakan hilang begitu saja. Jesika benar-benar lupa tujuan awal ia datang kesini.

Aku makin tersenyum lebar ketika melihat Jesika gelisah. Aku tahu Jesika seperti akan mengatakan hal yang sangat serius. Namun aku tidak akan memaksanya untuk menyampaikan hal tersebut. Aku mendekat lalu memeluk Jesika erat—mencoba untuk memberi ketenangan. "Kalau kamu belum siap untuk kasih tau aku. Nggak papa kok. Aku nggak akan memaksa kamu untuk melakukannya."

"Dengan kamu datang menemuiku, aku sudah merasa begitu bahagia. Aku senang akhirnya kamu bisa memaafkanku. Sekarang aku tidak membutuhkan apa-apa lagi." Ucapku dengan senyuman manis.

Aku melepaskan pelukanku ketika sudah puas memeluknya. Aku lihat Jesika terus diam terpaku. Aku makin dibuat bingung dengannya. Kenapa dengan Jesika? Apakah ada masalah? "Kenapa?"

"Apa ada masalah?" tanyaku lagi sambil meraih kedua tangannya.

"Hah, eng-nggak kok," balas Jesika linglung. "Gue permisi," pamitnya langsung berlari meninggalkan Mika begitu saja.

Aku makin dibuat kebingungan, aku tidak mengerti dengan keadaannya sekarang. Sebenarnya Jesika kenapa? Ah, ya sudah lah. Yang terpenting Jesika sudah mau menemuiku, itu berarti Jesika sudah tidak lagi marah terhadapku. Aku akan memberitahu Adin mengenai hal ini. Pasti Adin juga ikut senang mendengarnya.

✯✯✯

Pagi-pagi seperti ini Adin melihat Mika terus tersenyum tanpa alasan, membuat bulu kuduknya berdiri. "Kenapa sih?" tanya Adin berkidik ngeri.

"Tadi Jesika ke rumahku," balasku dengan riang.

"Serius?" kaget Adin tidak percaya.

Aku mengangguk untuk mengiyakan, "tapi dia diem aja, nggak ngomong sedikitpun." Ucapku seraya mengangkat kedua bahu.

Farmasi & Perawat Where stories live. Discover now