14

1.9K 454 17
                                    

Pertanyaan Raleine spontan membuat Indira membeku. Tadinya dia mau membuka pintu rumah, sekarang malah berdiri diam di depan pintu. Tangannya mengapung di udara, tepat di atas gagang pintu.

Mungkin memang ada perasaan yang bertaut antara ibu dan anak. Ketika Indira tidak jadi membuka pintu, pintu itu terbuka sendiri. Tepatnya, Sang Ibu yang membukakan pintu dari dalam.

"Ngapain bengong?" tanya Indah kepada putrinya.

"Lagi teleponan sama Kak Raleine," sahut Indira, menunjuk handphone.

Di ujung sana Raleine diam, menyadari Indira sedang mengobrol dengan orang lain.

"Masuk atuh, dari pada di luar terus," Indah memberi jalan bagi putrinya dan Indira langsung melesat ke kamar. Sembari melangkah sembari memikirkan apa yang harus dikatakannya pada Raleine.

Setelah dirasa cukup lama Indira diam, Raleine kembali menyapa.

"Indira, are you still there?"

"Masih, Kak. Maaf. Ehem." Indira menaruh tas dan melepas hijabnya, lalu duduk di tepi tempat tidur. "Soal pertanyaan Kak Raleine tadi..."

Raleine menunggu dengan hati berdebar.

"Aku masih menganggap A Nathan sebagai saudaraku. Adiknya Kak Nira. Saudaraku yang dipersatukan oleh pernikahan. Aku tidak dan belum memikirkan lebih jauh dari itu walaupun A Nathan udah bilang bahwa dia nggak nganggap aku sekedar saudara." Indira menghirup napas panjang. "Apakah itu cukup?"

"Cukup, Ind. Makasih ya," balas Raleine. "Aku tahu perasaan gak bisa dipaksakan. AKu rasa kamu dan Nathan pun paham soal hal itu. Tapi kalau aku boleh minta..."

"Minta apa?"

"Jika suatu hari nanti kamu memang punya perasaan lebih ke Nathan, apakah aku boleh dikasih tahu?" pinta Raleine pelan.

Indira terkejut. Selama ini dia tahu Raleine memang hampir selalu mendapatkan apa yang dia inginkan, baik itu dari orang tuanya, kakaknya, maupun orang-orang di sekolahnya. Memang itu tidak menjadikan Raleine pribadi yang sombong, tapi mendengar nada suara Raleine yang seperti itu, merendahkan hatinya dan meminta kepada Indira, Indira sendiri kaget mendengarnya.

"Walaupun aku nggak tahu apakah itu akan terjadi atau nggak... tapi oke, Kak Raleine adalah orang pertama yang akan aku beri tahu. Tapi apakah Kakak akan baik-baik aja?"

"I'll be fine as long as I know it straight from yourself. Daripada tahu dari orang lain. Itu bakal bikin aku sakit hati dan patah hati sekaligus." Raleine berusaha tertawa. Indira mendengarnya seperti tawa yang dipaksakan.

"Apakah A Nathan the one buat Kak Raleine?" Spontan Indira bertanya.

Kembali terdengar keheningan. "Sebentar, aku ambil KFC dulu."

Oh rupanya Raleine sedang mengambil pesanan toh. Sembari menunggu, Indira mengambil handuk dari halaman belakang, kalau teleponnya usai, dia akan langsung mandi.

"I'm back!" Raleine berseru. "Wangi banget ayamnya. Kamu mau Ind?"

Indira tertawa. Memangnya kalau dia bilang mau, ayamnya bisa dikirimkan lewat telepon?

"Nggak, Kak. Selamat makan ya," timpal Indira.

"Tentang pertanyaan kamu... aku belum bisa bilang he's the one. But I can tell that I like him so much. Is that the same? Or similar? Or close enough? Or so far?"

Indira kembali tersenyum. "Mungkin... close enough ya, Kak."

"Mungkin..."

"Apa Kak Raleine nggak benci sama aku? Laki-laki yang Kak Raleine suka banget malah suka sama aku?"

"I want to, but I can't. Lagian aku benci juga buat apa sih? Kan nggak bikin cowoknya otomatis suka sama aku? Lagian kamu saudaraku, Indira. Bukan sekedar teman cewek. Oke, kita memang nggak sedarah sih. Yang sedarah sama kita kan Bang Gio. Tapi nggak sedarah nggak berarti hubungan persaudaraan lebih gak kuat dibanding yang sedarah. Kamu juga orang yang baik. Aku nggak punya alasan untuk membenci kamu."

"Kak Raleine ini hatinya bersih banget," Indira memuji lalu keduanya tertawa.

"Nggak yaa. Aku tetap jahat kok kalau abis mutusin mantan aku," ujar Raleine di sela tawanya. "And for another reason, aku percaya aku orang yang kuat dan cantik. Kalau seandainya Nathan memang bukan jodohku, entah dia sama kamu atau perempuan lain, aku bakal baik-baik aja dan pasti ada yang terbaik buat aku."

"Aku setuju sih kalau itu," Indira berdiri bersandar di dinding. Handuk sudah ada di pundaknya tapi belum juga ia beranjak ke kamar mandi.

"So, mungkin aku akan kembali berusaha untuk Nathan. Gak apa-apa kan?"

Indira tertawa lagi. "Nggak apa-apa, Kak. Aku berdoa yang terbaik aja buat Kak Raleine. Apa pun hasilnya dan gimana pun prosesnya, I hope you are okay."

"I'll be okay. Anyway, udah mau maghrib, Ayah udah pulang. Nanti kita ngobrol lagi ya. Kayaknya ayam aku bakal diminta Ayah nih. Bye, Ind."

"Bye, Kak. Salam buat Om Javas dan Tante Denza."

"Salam buat Om Haris dan Tante Indah."

Telepon akhirnya ditutup. Indira langsung berbalik untuk menuju kamar mandi namun langkahnya terhenti ketika handphone di tangannya berbunyi lagi.

El Nathan Zidmi is calling.

"Panjang umur banget," gumam Indira sebelum menekan tombol terima. "Halo, A."

"Halo, Indira. Kamu lagi sibuk kah? Barusan aku coba telepon beberapa kali tapi nadanya sibuk."

"Aku abis teleponan sama Kak Raleine," kata Indira tenang.

"Oh gitu. Raleine apa kabar?"

Indira terkikik. "Kan kalian satu kampus. Harusnya lebih sering ketemu kan?"

"UI itu gede banget, Indira. Kami juga nggak satu fakultas," jawab Nathan dengan tawa pelan.

"Kak Raleine baik-baik aja. Tadi abis kelaperan dan pesen satu bucket KFC tapi kayaknya bakal diminta separo sama Om Javas," jawab Indira apa adanya.

"Wah. Haha. Om Javas emang suka banget sama KFC," Nathan menimpali. Mengingat cerita Bang Gio bahwa salah satu cheating dish mereka memang ayam KFC. "Anyway, sekarang kamu lagi apa?"

"Baru mau mandi sore, A."

"Oh. Sorry ganggu kalau gitu. Nanti maleman aku telepon lagi boleh?"

Aduh. Jawab apa ya. Kalau jawab oke, apakah kesannya aku kasih harapan ke A Nathan? Padahal aku biasa aja ke dia. Lalu kalau aku deket dengan dia, gimana Kak Raleine? Kak Raleine memang tahu soal ini. Tapi...

"Ah. Oke, A."

"Oke."

Kemudian hening. Indira diam di depan pintu kamar mandi dan Nathan tidak bicara apa-apa lagi.

"Kamu dari tadi ngapain diem doang di depan pintu? Pake anduk ditaro di pundak segala kayak supir angkot," ucapan ibunya membuat Indira terlonjak. Sudah dua kali dia tertangkap basah berdiri kaku di depan pintu.

"A, aku mandi dulu ya. Dah, A."

Indira buru-buru mematikan telepon dan masuk ke kamar mandi. Tadi saat menelepon Raleine dia tampak begitu yakin harus bersikap apa kepada Nathan. Kenapa sekarang dia jadi bimbang?

***

Akhirnya ketemu lagi sama SHM. 

Yok divote dan dikomen yokkk

IG: amysastrakencana

-Amy

Seyakin Hati Memilih - END (GOOGLE PLAY)Where stories live. Discover now