17

1.8K 444 39
                                    

Tanpa bisa dicegah, tubuh Raleine menegang dan ekspresinya pasti terlihat kaku.

Berpikir, Raleine, berpikir! Mau jujur atau nggak? Kalau jujur, gila kali. Kamu kan udah punya pacar! Kalau nggak jujur, berarti harus bisa yakinkan Nathan.

"Haha..." Raleine memalingkan pandangan. "Hahaha."

Tawanya terdengar palsu. Sangat palsu. Apa Nathan menyadari kepalsuan dan kekakuan Raleine ini? Semoga tidak. Ekspresi Nathan masih tidak berubah. Dia masih tampak penasaran sekaligus agak gugup.

"Nggak perlu ke tanya aku dong, Nat. Aku kan bukan siapa-siapa," Raleine mengibaskan rambutnya. "Maksud aku, kalau Bang Gio kan jelas, kakak kandung Indira dari ibu yang sama. Kalau aku kan sebenernya nggak ada hubungan darah sama Indira. Jadi pertanyaan kamu agak salah sambung deh."

Ingin sekali rasanya topik ini tidak perlu dilanjutkan kembali. Raleine mengambil tasnya untuk segera pergi.

"Tapi, Kak Raleine juga deket sama Indira kan? Walau nggak sedarah, kalian saudara."

Senyum Raleine muncul. Iya betul. Dia dan Indira adalah saudara, walaupun bukan melalui hubungan darah. Raleine sayang Indira dan Indira juga sayang Raleine. Hubungan ini tidak perlu dirusak oleh egoisme antara mereka berdua. Lagipula saat ini Aska sudah menjadi pilihan Raleine dan mengubur perasaannya pada Nathan sudah jadi keputusannya.

"I'll support whatever good for my loved ones," Raleine menepuk pundak Nathan lalu bergegas pergi tanpa mengatakan apa pun pada Nathan. Meninggalkan Nathan dalam pertanyaan lain yang mendadak muncul. Restu sudah didapat dari kedua kakak Indira. Tapi mengapa rasanya ada yang salah?

***

Setelah Dipta tidak ada, Indira jarang keluar rumah selain bersama keluarga dan teman-temannya di kampus. Sabtu malam seperti sekarang, ketika teman-temannya mayoritas sedang keluar bersama pacar masing-masing, Indira memilih di rumah saja. Kadang Mama dan Papa juga mengajaknya keluar, tapi hari ini mereka pun sedang ingin di rumah. Jadi ketika kedua orang tuanya asyik menonton film, Indira duduk di kursi di depan rumah.

Sekitar rumah mereka sedang sepi. Kadang terdengar suara anak-anak yang bermain dari satu rumah ke rumah lain atau suara kendaraan lewat. Indira memperhatikan langit sambil memeluk lutut, memikirkan apa saja yang tiba-tiba mampir ke otaknya. Sesekali memperbaiki letak pashmina yang asal dia tempelkan di kepala. Meskipun di rumah, karena berada di luar, tidak menutup kemungkinan ada tetangga atau tamu yang lewat, jadi Indira harus tetap berjaga-jaga.

"Kang Dipta lagi apa?" Tiba-tiba mulut Indira menggumamkan pertanyaan itu.

Sulit untuk tidak memikirkan sosok yang dikenalnya sejak SMA. Sosok yang pertama kali Indira rasakan benar-benar menyayanginya selain keluarganya. Orang yang tidak ragu untuk mengulurkan tangan saat Indira membutuhkan bantuan. Laki-laki yang menyediakan pundaknya tanpa perlu ditanya, setiap melihat mata Indira berubah.

"Kangen." Indira menaruh wajahnya di atas lutut. Biarpun berusaha untuk tetap tegar. Ada kalanya bayangan Dipta kembali ke pikirannya lalu membuat dadanya terasa sesak. Jika ada hal yang mengalihkan perhatiannya, Indira bisa mencegah air keluar dari matanya. Namun jika pertahanan Indira sedang longgar, Indira tidak akan mencegah tangisnya keluar.

Handphone yang diletakan di meja mendadak bergetar.

Tepat waktu sekali, pikir Indira.

Perhatiannya terpecah, wajah Dipta kembali memudar. Tangan Indira meraih handphone. Di layarnya muncul sebuah nama.

Alistair Bramantio.

"Is?"

Alistair Bramantio, anak dari ayah seorang mantan pembalap dan ibu seorang Guru Besar di universitas ternama lain di Bandung. Ibunya berharap Is kuliah di UNPAD juga tapi Is malah 'membelot' ke ITB. Berada di angkatan yang sama dengan Indira namun mengambil jurusan Teknik Elektro. Salah satu contoh nyata bahwa wajah tampan dan keluarga kaya juga memiliki otak yang cemerlang.

Seyakin Hati Memilih - END (GOOGLE PLAY)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang