25

1.8K 465 40
                                    

Siapa yang menyangka primadona sekolah mengajaknya bertemu dan berkenalan? Setelah mengetahui seorang Raleine Camania dan yang mana orangnya, Nathan tetap menjalani hari-harinya seperti biasa. Lalu pada sore hari itu sang primadona mencarinya, mengatakan bahwa kakaknya naksir kakak-nya.

Nathan bisa melihat saat itu Bang Gio adalah sosok yang cocok untuk kakaknya. Memang kakaknya sudah punya pacar, tapi Gio sepertinya lebih tepat. Lebih dewasa, lebih bertanggung jawab, lebih sederhana. Dimulailah perjalanan Nathan membantu Gio meraih hati Nira, seiring dengan semakin dekatnya Nathan dengan Raleine.

Primadona itu murni seperti apa yang terlihat. Dia bisa bergaul dengan siapa saja, tidak ragu untuk terlihat berantakan, berteriak-teriak seru saat membahas artis K-Pop kesukaannya, tapi bisa menjadi sangat anggun jika diperlukan. Tapi untuk Nathan, Raleine tetaplah Raleine.

Mereka kenal lebih dulu tapi ketertarikan Nathan muncul ketika bertemu adik Gio yang satunya. Di wisuda Gio yang dia datangi bersama Nira, di situlah mereka bertemu. Indira memang masih kecil, maka Nathan tidak memperpanjang ketertarikannya. Namun rupanya hubungan kakak-kakak mereka berlanjut, maka ketertarikan Nathan semakin berkembang. Dia jadi lebih sering bertemu Indira, Indira yang sudah tumbuh menjadi perempuan anggun dan irit bicara. Cukup berkebalikan dengan Raleine. Meskipun begitu, Nathan memilih diam dulu. Masih ada hubungan Nira dan Gio yang perlu diperjuangkan. Indira juga sudah lebih dulu berpacaran dengan Dipta. Namun seiring berjalannya waktu, Nathan tahu dia pasti akan berusaha untuk Indira.

Lalu sekarang sang primadona mengatakan bahwa dia menyukai Nathan sejak dulu.

***

Perasaan kagum itu mungkin akan bertahan sebagai perasaan kagum kalau mereka tidak semakin dekat. Usaha Raleine untuk membantu Gio mendekati Nira dengan cara meminta bantuan Nathan, tanpa sengaja membuat mereka juga semakin dekat.

Mereka bisa saling menghubungi untuk merencanakan hal-hal apa untuk kakak-kakak mereka. Dengan demikian Raleine pun semakin tahu kepribadian Nathan yang sesungguhnya. Tanpa bisa ditahan, perasaan kagum itu tumbuh menjadi suka.

Perasaan suka yang lama kelamaan menjadi cinta dalam diam dan hanya bisa dipendam karena alasan-alasan tertentu. Mungkin saat Raleine bilang akan berjuang, itu hanya ucapan tak berdasar. Karena Raleine tahu, Nathan tidak akan pernah membalas perasaannya. Hubungan mereka pun akan menjadi kaku dan aneh kalau sampai Nathan tahu.

Namun kejadian hari ini membuat Raleine kesal. Pintu ruang rahasia yang ada dalam hatinya akhirnya terbuka dan rahasia itu sampai juga kepada laki-laki ini.

***

Raleine berhenti melangkah, melirik sekilas kepada Nathan yang memanggil namanya.

Kak.

Betul, Raleine. Selamanya kamu cuma 'kakak' di mata Nathan. Baik itu sejak sekolah maupun sekarang. Kamu bukan Indira, yang dipanggil dengan penuh rasa sayang oleh Nathan.

"Indira... Indira..." Begitu Nathan memanggil adiknya.

Keputusannya untuk menyampaikan perasaannya pada Nathan rupanya salah. Tidak. Kesalahannya muncul sejak bertahun lalu, sejak Raleine mulai kagum pada Nathan. Seharusnya Raleine tidak perlu memperhatikan Nathan seperti itu. Biarkan saja dia sama seperti anak-anak baru lainnya.

Mata Raleine yang bertanya apa maksud Nathan memanggilnya. Mulutnya sendiri tetap bungkam.

"Aku... maaf. Kak Raleine... saudaraku..."

Bibir Raleine bergetar, rasanya semua umpatan kekesalan bisa keluar dari mulutnya saat ini. Tasnya pun bisa terbang dan mendarat di kepala Nathan saat ini juga. Apalagi jarak mereka tidak terlalu jauh. Raleine tidak peduli kalau nanti kepala Nathan benjol sebesar telur dan membuat para fans-nya khawatir.

Cahaya lampu mobil mendadak menyorot sehingga mengalihkan perhatian Raleine maupun Nathan. Keduanya menoleh ke arah mobil yang baru tiba.

Sial, mobil Ayah.

Cadenza turun dari mobil dengan terburu-buru setelah melihat putrinya berdiri di depan rumah dengan tubuh bergetar dan mata sembab. Putri satu-satunya, yang didapatnya dengan penuh perjuangan, dan harus dilahirkannya dalam kesendirian. Sekarang berdiri seperti baru saja tercebur dalam sungai, namun dengan ekspresi seperti baru disakiti. Cadenza tidak bisa diam saja.

"Sayang, kamu kenapa?" Denza menyentuh pipi Raleine, menatap putrinya untuk mengecek apakah ada luka.

Raleine menggeleng. Pelan-pelan dia memegang tangan ibunya.

Kepala Denza menoleh kepada Nathan yang disadarinya juga ada di situ.

"Nathan? Raleine kenapa?"

Belum sempat Nathan menjawab, Javas juga sudah turun dari mobil. Javas berjanji bahwa siapa pun yang membuat putrinya sakit hati, orang itu tidak akan baik-baik saja. Siapa pun orangnya. Hingga saat ini dia belum pernah memberi pelajaran kepada siapa pun, mungkin hari ini adalah kali pertama.

Nathan menelan ludah. Meskipun sudah tahu bagaimana watak asli orang tua Raleine, tapi melihat wajah Cadenza yang cemas dan Javas yang menjadi semakin garang, tidak dipungkiri bahwa Nathan panik juga. Apalagi penyebab Raleine menangis adalah dirinya.

"Nggak apa-apa," Raleine berkata. Dia tersenyum. Matanya masih menangis tapi ekspresinya semakin cerah. "Aku sama Nathan abis nonton film sedih. Aku nangis di bioskop. Padahal pas keluar udah nggak apa-apa. Terus di mobil bahas lagi jadi nangis lagi. Kan aku malu, jadi aku buru-buru masuk. Nathan itu mau usul nemenin sampai Mama dan Ayah pulang, tuh makanya dia nanggung gitu."

Nathan nyengir atas posisinya. Satu kakinya masih di dalam mobil, satunya lagi sudah menjejak aspal.

"Padahal aku bilang nggak usah. Udah biasa sendiri. Eh keburu Mama sama Ayah datang. Jadi kesannya kayak aku nangis gara-gara Nathan ya? Haha."

Padahal memang iya!

Denza dan Javas memandang Nathan dengan kompak.

"Eh, ya begitulah, Om, Tante."

Cerita itu sepertinya dipercaya kedua orang tua Raleine. Denza jadi lebih rileks dan Javas mengangguk.

"Kamu boleh pulang, Nat. Aku udah nggak sendirian kok. Makasih ya buat hari ini. Makasih buat... semuanya." Raleine tersenyum lagi lalu segera membuka pagar untuk masuk ke rumahnya.

Merasa tidak ada yang bisa dilakukan lagi, Nathan berpamitan pada Denza dan Javas lalu segera pulang. Di belakangnya, baik Denza maupun Javas memperhatikan hingga Nathan tidak terlihat lagi. Setelah itu Denza buru-buru menghampiri Raleine. Kalau putrinya menangis hanya karena menonton film sedih, seharusnya dia tidak perlu sampai berkali-kali salah memasukan kunci pagar dan berlari masuk ke kamarnya.

*** 

Ada yang lebih sakit dari friendzone. Sodarazone. Haha

-Amy

Seyakin Hati Memilih - END (GOOGLE PLAY)Onde histórias criam vida. Descubra agora