12

2.4K 461 30
                                    


Indira berulang kali membaca pesan yang dikirimkan Nathan. Kepalanya miring ke kanan dan ke kiri. Matanya memastikan bahwa apa yang dibacanya tidak salah dan dia tidak keliru mengartikan tulisan Nathan.

"Kunaon kamu gudag-gideg kitu?" tanya Indah yang membawa piring berisi berbagai gorengan ke depan TV.

"Teu kunanaon," sahut Indira. "A Nathan ngajak aku jalan-jalan. Kumaha, Ma?"

Indah membaca pesan dari Nathan di handphone Indira, lalu menatap putrinya.

"Jig weh. Sana jalan-jalan. Biar kamu nggak di rumah mulu. Sekali-sekali keluar selain buat kuliah aja," Indah mengelus rambut Indira. Jika hanya di rumah dengan orang tuanya, Indah memang membuka hijabnya. Indah tahu bahwa putrinya masih berkabung karena kehilangan Dipta. Dua pekan setelah Dipta wafat, aktivitas Indira hanya kuliah saja. Dia memang sudah tidak menangis lagi, tapi sepertinya semangat hidup Indira belum kembali. Indah berusaha mengajak Indira melakukan beberapa aktivitas. Seperti arisan, ikut kursus merajut, ikut seminar, berjalan-jalan di mall, staycation, tapi suasana Indira tetap saja sama. Mungkin kalau Nathan yang mengajak, akan ada sedikit perbedaan. Mungkin.

"Hmm," Indira hanya menggumam. Jemarinya mulai bergoyang-goyang di atas layar handphone.

"Jeung saha?" tanya Indah lagi.

"Gak tahu. Coba aku tanya dulu."

Indira K: Besok nggak ada agenda, A. Sama siapa aja?

El Nathan Zidmi: Aku ke Bandung sama Bang Gio. Tapi kalau jalan-jalannya kita berdua aja. Keberatan kah?

"Bang Gio mau ke Bandung juga cenah, Ma. Tapi yang jalan mah cuma sama A Nathan aja."

"Oooh, Gio pulang juga? Syukur atuh. Mama kangen," mata Indah berbinar mengetahui putra sulungnya juga akan pulang. "Gak apa-apa sih kalau cuma sama Nathan mah. Percaya dia mah kan anak baik. Ai kamunya mau gak?"

Indira menggerak-gerakkan bibirnya, berpikir. Sebenarnya dia masih ingin di rumah saja. Selain memang masih merasa kehilangan Dipta, Indira pasti sulit untuk pergi ke luar tanpa mengingat kenangannya bersama Dipta. Di kampus pun sebenarnya Indira sering hampir menangis. Kampus adalah tempat dengan banyak kenangan antara dirinya dan Dipta. Hampir saja Indira juga tidak mau ke kampus karena akan mengingatkannya pada Dipta. Namun karena dia tahu pendidikan masih nomor satu, akhirnya Indira berusaha membuat dirinya tegar.

"Yah... Boleh lah," kata Indira akhirnya.

Mungkin ini saatnya Indira mencoba belajar sikap tegar yang lebih tinggi lagi levelnya. Dia mulai keluar. Pertama dengan keluarganya dulu, mungkin berikutnya dengan teman-teman perempuannya. Setelah itu Indira bisa pergi ke luar tanpa khawatir 'diganggu' oleh ingatannya tentang Dipta. Mungkin suatu saat Indira akan bisa mengingat Dipta tanpa merasakan beban karena merindukannya.

"Ya udah, bilang sama Nathan. Tanya juga dia sama Gio nyampe jam berapa. Biar Mama bisa siapin sarapan kalau mereka datangnya pagi."

"Iyaaaa," Indira menyahut lalu melanjutkan komunikasinya dengan Nathan.

***

Jam delapan pagi ternyata Nathan dan Gio sudah sampai di kediaman milik Indah dan Haris. Untung saja selepas subuh tadi Indira langsung mandi dan mengisi waktunya dengan menonton film kartun. Jadi ketika Nathan tiba, dia sudah siap.

"Udah nyampe geuningan," sapa Indah begitu melihat Gio dan Nathan.

"Jalanan sepi, Ma," ujar Gio lalu mencium tangan dan memeluk ibunya. "Mama sehat?"

"Sehat atuh. Kamu sehat? Nira apa kabar? Nggak ikut?" Indah mengelus rambut Gio seakan-akan Gio masih berusia tujuh tahun. Padahal sekarang Gio sudah dewasa, tingginya pun melebihi tinggi ibunya.

Seyakin Hati Memilih - END (GOOGLE PLAY)Where stories live. Discover now